SINDIKAT PENULIS
Silakan login dahulu, biar lebih asyik.
Kalau belum bisa login, silakan daftar dahulu.
Setelah itu, selamat bersenang-senang...
SINDIKAT PENULIS
Silakan login dahulu, biar lebih asyik.
Kalau belum bisa login, silakan daftar dahulu.
Setelah itu, selamat bersenang-senang...
SINDIKAT PENULIS
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.


Kami adalah penulis, dan kami tidak butuh persetujuan dari siapa pun!
 
IndeksLatest imagesPencarianPendaftaranLogin
"Jika ada buku yang benar-benar ingin kamu baca, tapi buku tersebut belum ditulis, maka kamu yang harus menuliskannya." ~ Toni Morrison

 

 Cerpen, tapi gak terlalu mendadak seperti biasanya.

Go down 
PengirimMessage
Andri
Penulis Muda
Penulis Muda
Andri


Jumlah posting : 264
Points : 311
Reputation : 13
Join date : 19.02.12
Lokasi : Sewer Speedway

Cerpen, tapi gak terlalu mendadak seperti biasanya. Empty
PostSubyek: Cerpen, tapi gak terlalu mendadak seperti biasanya.   Cerpen, tapi gak terlalu mendadak seperti biasanya. EmptyFri 31 Aug 2012 - 12:49

Iseng aja sih ._.
lama gak nulis soalnya :|

______________

Aku berlari mencari tahu, mengejarnya menuju bayang-bayang gelap antar sisi. Pantulan cahaya bulan yang sesekali menerangi lorong ini melewati ventilasi membuatku mengetahui kemana arahnya berlari, terus berlari, dan seolah mengejekku sambil mengatakan ”Tangkaplah aku, bodoh!”



Sekiranya tiga menit yang sudah kulalui, atau tepatnya kami lalui, ya, aku dan dia, si brengsek yang terus berlari menghindariku. Entah apa alasannya, tapi aku tahu dia merupakan kunci kasus yang sedang kupikirkan ini, tapi kenapa dia sama sekali tak mau memberitahuku? Padahal sudah semalaman aku mencoba mencari orang yang bisa memberitahuku segalanya.



Cahaya bulan semakin terang menerangi, membuat kontras antara bayangan dan pantulan. Semakin lelah pula diriku untuk terus berlari. Tapi si brengsek itu terus bergeming, membuatku terpaksa tak bisa melepas penat lebih cepat. Dan lagi belokan-belokan lorong ini, membuatku semakin lelah untuk mengejarnya. Sialan.



Dua menit lagi yang sudah kami lalui, hasilnya tetap tak bisa kukatakan. Mungkin kami memang hanya berkeliling pada lorong gedung yang gelap dan sempit ini, tapi tetap saja itu menguras tenaga. Dan lagi sepertinya permainan ini tak akan cepat selesai. Diriku mulai lelah, sedikit terbungkuk, dan tersengal-sengal, seolah otakku mencoba mengatakan padaku. ”Lupakan semuanya! Kau tidak akan pernah berhasil!”



Bruk!!



Eh, bunyi jatuh? Benda apa yang jatuh?



Bruk!!



Ah, sialan, untuk yang kedua ini aku yakin bahwa akulah yang terjatuh, tapi karena tersandung sesuatu. Ya, sesuatu itu pastilah benda yang mengisi suara pada jatuhan pertama.



Aku berbalik, mencoba mencari tahu apa yang kusandung tadi. Ya, tentu saja, dialah si brengsek yang tadi sudah kukejar-kejar. Kulihat dia kesakitan, mungkin dia terpeleset atau kehilangan keseimbangan karena lelah sepertiku? Entahlah, yang pasti dia terjatuh, sama sepertiku.



Aku berusaha mendekatinya, secepat mungkin sebelum dia terbangun. Berdiri tepat didepannya. Kulihat ia mengadahkan kepalanya dan segera bertatap muka denganku. Tersungging sedikit, lalu tertawa mengejek, dia memandangku dengan remeh, seolah aku tiada artinya.



Kutendang dagunya sehingga ia tersungkur ke belakang beberapa meter. Cukup keras dan cukup bagus untuk membuatnya diam. Aku mendekatkan diriku kembali padanya. Reaksinya sedikit berbeda, dia mengelap darah yang mengalir dari mulutnya dan kemudian tersungging lalu tertawa lagi.



Sialan orang ini!



Kubungkukkan badanku, mendekatkan wajahku padanya dan memberi isyarat ’hati-hatilah.’ Tapi si bodoh itu malah benar-benar menguji kesabaranku, dia meludahiku dan dilanjutkan lagi dengan tawanya yang sialan itu. Kududuki badannya supaya ia tak bisa melawanku lagi. Sambil sesekali kutinju wajahnya.



”Masih ada lagi yang kau tertawakan?” Aku bertanya.



”Ya, dirimu.” Dan dilanjutkan lagi dengan tawanya itu.



Untuk alasan yang ke seribu ini, aku benar-benar muak dengannya. Sekali lagi kupukul wajahnya, seolah memberi alarm.



”Oke, serius, pak.” Aku berkata. ”Apa yang kau ketahui tentangku?”



”Semuanya.”



”Semuanya?”



”Ya, semuanya.”



”Apa? Apa saja?”



”Tentu saja semuanya, aku sudah mengatakan padamu.”



Aku memukulnya, alarm yang kedua, atau mungkin keempat jika kuhitung mulai dari tendanganku itu.



”Bisa serius?”



”Ya, aku sudah serius.” dengan sungging yang diwarnai dengan noda darah mengalir, dia menjawab dengan menyebalkan.



”Apa yang kau ketahui tentang diriku?”



”Semuanya.” Dengan tersengal-sengal dia menjawab dengan jawaban yang sama, dan tentu saja itu mengaktifkan alarm yang kelima dan membuatnya semakin babak belur.



”APA YANG KAU KETAHUI TENTANG DIRIKU?” Aku mencoba keras padanya.



”Sudak kukatakan, aku tahu semuanya.” alarm yang keenam. Membuatnya sedikit melemah.



”Cih, aku mulai muak denganmu.”



”Aku juga.” alarm yang ketujuh, dia semakin melemah.



”Katakan padaku, apa yang kau ketahui tentang semuanya itu.”



”Kau...” kelihatannya beberapa pukulanku membuatnya sedikit sulit untuk berbicara. ”Hanyalah sebuah mesin.” Uh? Mesin? ”Mesin menyebalkan.” Menyebalkan? ”Dan sumber kebencian.”



”Apa? Apa maksudnya?” Kini alarm yang kedelapan belum ia aktifkan.



”Kau akan tahu itu.” Dia tertawa meledekku.



”Apa maksudnya? Beritahu aku! Sekarang!”



”Untuk apa? Kau sudah memukulku hampir sepuluh kali, kan?” Jawabnya dengan tersengal-sengal dan hela nafas yang pendek. Ya, aku tahu dia pasti sudah merasa sangat lelah untuk fisiknya. Terang saja, itu tidak aneh.



”Jika aku berjanji akan melepaskanmu?”



”Aku tidak akan percaya.”



Ukh, orang ini memang benar-benar bedebah, dia benar-benar menguji emosiku. Aku langsung memukul wajahnya, dua, tiga, sampai empat kali. Membuatnya terbatuk-batuk, mengeluarkan darah merah yang semakin banyak, mengenai seluruh tubuhku dan dasar tanah yang sedang kami pijak.



...



Tak ada reaksi?



”Hei.” Aku mengguncang tubuhnya.



”Halo?” Kuguncang makin keras, tetap tak ada reaksi.



Dia mati. Ya, sekarang dia sudah mati.



Dasar bodoh! Apa yang kau telah lakukan, hah? Sekarang kau harus melakukan apa? Kunci yang bisa kau gunakan kenapa malah kau patahkan?



Kupandang mayatnya, darah menggenang di antara tubuhnya, cukup banyak, atau malah dapat disebut sangat banyak. Matanya menutup dengan lebam disekitarnya, ya, dia pasti memang sudah sangat kelelahan untuk menghadapiku. Tapi satu pertanyaan, bukankah dia sudah terdesak seperti itu? Tapi apa alasannya dia tak ingin memberitahuku siapa diriku ini? Ya, ingatanku sepertinya memang benar-benar hilang, aku tak ingat sama sekali. Bahkan aku bertemu dengannya karena dia mengatakan padaku. ’Flare.’ saat aku sendiri sedang kebingungan siapa diriku ini.



Mesin, menyebalkan, dan sumber kebencian. Itu tiga kata yang ia ucapkan. Tapi apa artinya? Aku bukan mesin, aku adalah manusia, lalu apa maksudnya dengan menyebalkan? Apakah itu artinya aku selalu sendiri karena tak mempunyai teman? Lalu sumber kebencian? Apakah aku adalah boneka yang dipakai untuk mengadu dombakan orang?



Oohh, ayolah!! Kenapa kau harus mati, hah?



Kutatap lagi wajahnya, berharap dia akan terbangun. Walaupun aku tahu bahwa itu adalah mustahil. Setidaknya wajah itu bisa membuatku merasa aku bisa bertanya sesuatu lagi.



....



....





”Kau benar-benar akan melakukan semua ini, kan?” Dia membelakangiku.



”Ya, Kurasa.” Kujawab dengan tegas.



Berbalik mengarah pada pintu dan segera menuju keluar ruangan ini, melewati lorong gelap dan panjang, menuju kegelapan pada ujung lorong yang sedikit bertemakan gothic. Dengan suhu yang bisa dibilang agak rendah untuk kulit manusia, tubuhku sedikit menggigil, tapi aku terus mencoba bersikap dingin dan tak acuh. Toh hanya suhu, tidak masalah.



Aku melangkah keluar, menggunakan trotoar untuk jalurku. Ya, aku memang tidak menyukai kendaraan, terlalu berisik. Lebih tepat menggunakan jalur pejalan kaki, toh jalur ini sudah dibuat, untuk apa jika tidak digunakan?



Hanya tinggal satu blok lagi aku akan melaksanakan semuanya. Aku harap semua bisa berjalan dengan lancar. Ini malam hari, kurasa tak akan ada yang mengganggu. Kecuali cahaya bulan yang memantulkan cahaya wajahku sehingga dikenali orang-orang.



Mulai mendekati pintu yang harus kulalui, kulewati permukaan bumi ini dengan sepatu yang kugunakan, melintasi malam yang semakin menyepi, sangat sepi. Ya, aku semakin yakin semua ini akan berjalan begitu mudah.



Tapi apa benar?



Tepat di depan, aku berdiri tegak menghadapinya, pintu yang mungkin bisa menjadi karirku. Membukanya perlahan mencoba tak menimbulkan suara, mencoba mencaritahu kegiatan apa yang sedang seseorang lakukan di dalam.



Tunggu!! Apakah tadi aku tidak salah lihat?



Kucoba untuk berbalik, tapi kosong.



Imajinasiku?



Bodoh, lupakan itu, lanjutkan saja pekerjaanmu.



Aku mengendap-endap, mencoba mencari pemilik rumah ini. Entah dia yang bodoh atau apa, tapi kenapa pintunya tidak dikunci? Dasar aneh.



Perlahan kulewati ruangan demi ruangan, tapi tak ada siapapun sampai saat ini. Sampai kucoba untuk mengambil langkah menuju lantai atas.



Darah? Ceceran darah di tangga?



Kulihat kamar atas, sebuah mayat terkapar tepat di depan pintu depan kamer itu.



”Astaga.” Aku berteriak.



”A, apa yang sebenarnya terjadi? Dia...”



”Ba-Boom!”



Eh!?



....



....



....



Ukh,



Kulihat bayang-bayang sinar, sinar putih yang menyilaukan.



Tapi sinar ini sangat tidak asing,

Sinar ini...



Rumah sakit dengan lampu di langit-langit atasnya



Apa yang sebenarnya terjadi?



Aku mencoba mengangkat bahuku. Sedikit terasa sakit di kepalaku. Kuraba kepalaku, ada sesuatu yang mengganjal. Ya, tiba-tiba ada sebuah perban yang melilit kepalaku. Apakah aku memang mengalami sebuah kecelakaan. Tapi apa? Aku sama sekali tak bisa mengingat apapun. Bahkan ketika terakhir sebelum aku disini. Apa yang sebenarnya terjadi?



”sepertinya ia sudah sadar.” Eh? Dia? Siapa dia?



“Akan kukonfirmasikan dulu, sebentar.” Eh? Suara yang lain.



Aku menengok ke arah kanan. Melihat pintu yang kemudian tertutup, juga melihat seorang pria dengan kemeja putih dan celana hitam. Mendekat padaku, menatapku, dan membuatku sedikit ketakutan.



”Kau baik-baik saja?” Huh? Kenapa dia bertanya seperti itu padaku? Aku bahkan tidak tahu dia siapa. ”Butuh satu hari kau untuk terbangun.” Satu hari? Apa selama itu? ”Tapi kau berhasil.”



”Berhasil? Berhasil apa?”



”Huh?” Dia mengangkat salah satu alisnya. ”Memangnya kau terbentur apa?”



”Terbentur?”



”Luka di kepalamu itu, luka benturan, kan?”



”Benturan? Benarkah?”



”Kau benar-benar lupa, ya?”



“Kau siapa?” Aku bertanya. Ya, aku lupa untuk menanyakan hal itu, padahal sudah kuniatkan, tapi dia terus memberiku kata-katanya, sehingga aku lupa menanyakannya.



“Kau benar-benar lupa?” Aku mengangguk. ”Hah, sialan, ini akan jadi sulit.”



”Sulit? Sulit apa?”



”Bos?” Tiba-tiba pintu ruangan ini terbuka, menuju ke arah dalam, kulihat lagi seorang laki-laki yang lain, Tapi dengan pakaian yang sama. Apa itu semacam aturan organisasi? Atau memang kebetulan dua orang itu memakai pakaian yang sama?



Tapi siapa mereka?



”Dia baik-baik saja, kan bos?” Orang itu bertanya.



”Tidak, tidak juga.”



”Kalian siapa?” Aku mencoba memotong pembicaraan mereka.



”Semoga kau akan tahu nanti.” Orang yang tadi berbicara denganku membalasnya, juga segera keluar ruanganku ini, tempat diriku yang sedang berbaring ini. Diikuti oleh temannya. Atau mungkin bawahannya? Karena tadi dia memanggilnya bos? Entahlah.



Tapi mungkin setelan kemeja itu memang peraturan organisasi karena tadi dia menyebut kata bos. Kalau teman sepermainan, apa mungkin?



Yeah, aku memang tidak tahu, bukan?



....



....



Aku berjalan keluar, menghirup udara yang sudah lama tak kurasakan. Dua langkah dari pintu utama rumah sakit, aku mencoba diam sejenak merasakan segarnya udara sore hari.



Oke, sekarang apa? Aku senang bisa keluar dari rumah sakit itu, tapi sekarang? Apa tujuanku? Kembali menuju keluargaku? Tapi dimana keluargaku? Aku sendiri bahkan lupa apakah aku mempunyai keluarga atau tidak. Ya, tapi kalaupun ada, pasti mereka sudah menungguku disini, aku rasa aku tidak punya.



’Flare.’



eh? Sesuatu? Seperti bisikan.



Aku berbalik melihat belakangku. Seorang pria tersenyum dan langsung lari.



Huh?



Apakah aku harus mengejarnya? Bodoh, kejar saja, setidaknya ada satu kegiatan yang bisa kau lakukan, bukan?



Aku mengejarnya, tapi entah kemana, yang pasti kami berlarian menerobos kerumunan orang-orang di tengah keramaian ini. Tapi, ya, aku melakukan hal ini hanya untuk menghabiskan waktu saja. Tidak terlalu masalah.



Aku mengejarnya dan terus mengejarnya, biarpun detak jantungku sudah memintaku untuk berhenti. Berbelok kemana ia pergi, mengencangkan kecepatan lariku, dan mencoba untuk menangkapnya. Tapi aku tetap tidak tahu untuk apa aku melakukan itu.



Lelaki itu segera menunjuk sebuah gedung yang terlihat megah dengan jari telunjuk kanannya sesaat setelah lepas dari kerumunan orang-orang dan menuju sebuah gang. Sebuah gedung yang gelap dan terlihat kumuh, tapi cukup besar.



Apakah dia memintaku untuk melihatnya?



Aku mengikuti petunjuknya, sedangkan ia terus berlari. Ya, tapi aku sudah terlanjur berhenti dan mencoba untuk memasuki gedung itu. Biarlah, lagipula aku tidak tahu siapa dia.



”Halo?” Gedung yang cukup besar, teriakanku bahkan menjadi gema.



”Hm?” Aku melihat bayang-bayang hitam, Lampu gedung ini tidak dinyalakan, aku tak bisa melihat dengan jelas apa itu.



”Uh?” Ya, tapi sekarang. ”Siapa disana?” Aku yakin melihat bayang-bayang seseorang. ”Halo?” Kucoba untuk memastikan apakah aku salah atau tidak.



Tak ada jawaban.



Aku mendekatinya, dan kulihat sebuah tubuh dengan sayatan pada telinganya yang membuatnya kehilangan telinga itu, juga kulihat matanya yang hilang satu buah dan bibirnya yang telah digunting rapi, sempat membuatku hendak muntah.



”Hei, hei?” Aku mendekatinya, masih bisa kurasakan dia masih hidup, tapi terlihat tersiksa. Kucoba untuk memperhatikan dengan jelas wajahnya yang rusak itu, perlu sekitar setengah menit untukku mengenali orang itu.



Ya, orang itu adalah orang pertama yang kulihat setelah aku kehilangan ingatanku.



”Kau kenapa?” Aku bertanya, biarpun aku tahu mustahil untuknya menjawab. Terengah-engah, dia menunjuk seseorang yang sempat ia panggil bos saat aku berada di rumah sakit. Keadaannya bisa dibilang lebih parah, kondisinya hampir sama, tetapi salah satu tangan dan kakinya hilang, hanya tersisa masing-masing satu buah, dan tangan dan kakinya yang sudah putus itu seperti sengaja ditempelkan pada dadanya.



Entahlah siapa yang melakukan ini, tapi benar-benar menjijikkan. Dan sepertinya menyukai permainan uno.



”Lihat?” eh? ”Lihat mereka sekarang, kan?” Aku berbalik, melihat orang yang mengucapkan itu. Orang yang sama, seperti yang kukejar tadi.



”Lalu, kau ini siapa?”



”Kau tidak tahu siapa aku?” Dia tersungging. ”Ya, kau akan tahu nanti.”



”Kau tahu siapa yang melakukan ini pada mereka?”



”Ya, aku tahu.” Dia tersenyum lagi.



“Kalau kau seperti itu, berarti kau yang melakukannya, bukan?”



“Ya.” Benar-benar dengan nada yang sombong.



“Kenapa?”



“Untuk memperlihatkannya kepadamu.”



“Kenapa?”



“Karena aku ingin kau melihatnya.”



Ya, sebenarnya jawaban itu tidak salah juga, tapi kenapa dia ingin aku melihatnya?



“Sekarang aku sudah melihatnya, lalu?”



”Ya, berarti sudah selesai.”



”Eh?”



”Misiku sudah selesai, kau sudah melihat mereka dengan keadaan menjijikkan itu, kan? Sekarang aku sudah puas.”



”Tunggu, kenapa kau melakukan semua ini, apa hanya untukku melihat ini semua? Aku tidak yakin.”



”Ya, aku yakin hanya itu yang kuinginkan, karena kau sendiri pernah melakukannya.”



Eh? Aku? Apakah itu artinya dia tahu tentang diriku?



“Kau tahu tentang diriku?”



“Ya, masalah?”



“Beritahu aku.”



“Untuk apa? Aku sudah mengatakan semua misiku sudah selesai, kan?” Dan dia segera menuju lantai atas. Sialan, apakah dia melarikan diri?



....



....



Ya, sekarang aku tahu dia tidak melarikan diri, seandainya dia melarikan diri, seharusnya dia keluar, bukan menuju lantai atas ini. Dia hanya ingin aku merasakan apa yang pernah ia rasakan, yang sesungguhnya aku sendiri tak tahu apa yang pernah ia rasakan dan apa yang pernah kuperbuat.



Apakah ia lari ke atas ini karena ia tahu aku sudah tak tahu apa-apa dan tak perlu balas dendam? Apakah dia berpura-pura terjatuh agar aku bisa membunuhnya dan terus bungkam agar aku tak perlu mengetahui masa laluku?



Memangnya siapa diriku?



___________



Andri

28-02-2012
17:40 WIB

Inspirasi : Extreme Way - Moby
Kembali Ke Atas Go down
 
Cerpen, tapi gak terlalu mendadak seperti biasanya.
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1
 Similar topics
-
» Yang ini gak terlalu mendadak ._.
» (Cerpen) Bom
» (cerpen) TOM
» meski dah telat. tapi... biarin. daripada enggk. right!! ^^
» Cerpen: Kabur!

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
SINDIKAT PENULIS :: Arena Diskusi :: Cerpen-
Navigasi: