“Aku sudah tidak kuat lagi”, ujar perempuan itu lemah. Perempuan itu berbicara lirih nyaris tidak terdengar. kedua tanganku mengenggam erat kedua tangan dinginnya di tengah badannya. Ia sekarat. Terbujur di atas ranjang. Pandangannya telah kabur. Dia ingin membuka matanya lebar mencari-cari wajahku. Tapi dia hanya mampu menyisakan segaris pandangan yang hampir tidak terlihat bola mata hijaunya. Aku menyorongkan badanku mendekati wajahnya. Agar dia bisa melihat siluetku.
“Tolong relakan aku, saat ini aku hanya ingin ketenangan”, desisnya dengan suara nafas tersengal.
Aku genggam erat tangan lentiknya sekitar tiga detik kemudian melepaskannya. Tak lama aku beranjak dari atas kasur dan berputar memunggunginya. Tangan kiriku memegang kusen jendela. Sejenak menopang badanku. Mengalirkan sedikit beban .Tahukah dia kalau aku juga lelah melihatnya menderita seperti itu. Aku tahu dari belakang ia mengarahkan pandangan ke arahku.
Tak kuat aku menahan, aku balikan badan lagi menatapnya. Ia masih sama seperti dulu. Saat awal bertemu. Wajahnya membuka kenanganku akan keindahan cherry blossom. Tubuhku masih menyimpan getaran saat pertama kali dapat menyentuh tangannya. Kulitnya seputih susu dan kelembutannya membuatku ingin menitikkan air mata. Seakan-akan diriku meluruh menjadi molekuk-molekul saat memeluknya. Berdekatan dengannya membuatku jungkir balik. Jantungku meletup-letup. Dialah pengacau kerja organ tubuhku.
Hidungku juga masih mencium wangi tubuhnya. Wangi yang sama. Wanginya seperti awal musim semi. Wangi kucup bunga malu-malu memekarkan kelopaknya. Wangi tetesan es yang akan berakhir. Wangi sinar matahari muda. Wangi rumput dan tunas yang berayun ringan. Aku menemukannya ketika dia sedang duduk termenung di hamparan rumput dan masih ada bongkahan es di sekitar batang pepohonan di taman kota. Aku melihatnya di awal musim semi. Dialah gadis musim semiku.
Pesona dan pribadinya bagaikan kehidupan. Mata hijaunya sesejuk pagi hari. Rambut pirang keemasaannya seterang siang hari dan kisah hidupnya sekelam malam hari. Sebelum ia sakit seperti sekarang ini, ia begitu ceria, semangat dan tahan banting. Kesempurnaan sifatnya yang sedikit demi sedikit turut menulariku, meruntuhkan kepesimisanku. Bersamanya juga aku mengukir kebahagiaan. Dialah kehidupanku.
Bagaimana aku bisa bertahan hidup kalau kekasih jiwaku mati. Akan menjadi pribadi macam apa aku nanti. Aku bukan hanya kehilangan dia, tapi juga diriku. Aku tidak dapat lagi menjadi sosok seperti saat ini. Kembali menjadi sosok pesimis, tidak punya tujuan hidup sangat memprihatinkan. Tidak, gadis seistimewa dia tidak boleh pergi dari hidupku. Aku tak akan membiarkannya mati.
Teringat kembali awal pertemuanku dengannya. Saat itu matahari bersinar syahdu di kala aku melewati taman kota. Mataku tak sengaja beradu tatap dengan seorang gadis cantik nan jelita. Dialah gadis itu. Kami saling bertatapan hanya sekitar dua menit. Setelah itu dia memalingkan pandangannya dan kembali diam mematung. Pandangannya menerawang. Diam-diam aku mengamatinya lama. Dari kejauhan, diantara pohon-pohon taman yang sengaja di bentuk menyerupai binatang lucu.
Dari celah ini aku bisa leluasa mengamatinya. Gadis itu, ku perkirakan berusia tidak jauh dariku, sedikit lebih muda. Rambut pirang panjangnya tertiup angin. Membuatnya menjadi berantakan. Bajunya juga sangat tidak rapi. Ia memakai kaos lengan pendek berwarna merah pudar dan celana jeans. Sesekali ia silangkan kedua tangannya berusaha menahannya dari rasa dingin. Dan akh, dia tidak memakai alas kaki. Di sekitarnya duduk pun tidak aku temukan alas kaki apapun. Mataku terus menyapu mengitari sekelilingnya. Tetap saja sepasang barang yang ku cari tidak ada.
Aku tidak tahan lagi. Dengan mengerahkan segenap keberanian yang ada, aku keluar dari persembunyian. Aku tidak kuasa untuk membiarkan wanita secantik itu mengalami penderitaan. Walau sinar matahari sudah memancar, tapi masih saja angin musim dingin berhembus perlahan.
Aku serahkan mantel hitam ini padanya. Dia menatapku datar. Menatap wajahnya dari jarak sedekat ini mulutku serasa terkunci. Dia sungguh sangat mempesona. Keelokannya tidak dapat aku gambarkan. Dia tidak merespon pemberianku tapi juga tak menolaknya. Maka kupakaikan saja mantel hitam ini ke badannya. Setelah lama diam terkagum-kagum oleh kemilaunya. Akhirnya aku berani bersuara “Siapakah namamu wahai nona?“. Namun dia tidak menjawab hanya menggelengkan kepala. Selanjutnya meluncur berbagai pertanyaan yang tak dapat aku bendung. Keluar begitu saja setelah lama mengendap di otakku. Seperti dimana dia tinggal, kenapa dia bisa berada di sini, siapa orang tuanya. Tapi lagi-lagi dia tidak dapat menjawab berondongan pertanyaanku.
Dia hanya menggeleng kemudian setelah beberapa menit berlalu, dia memegang kepalanya dan akhirnya bersuara parau “aku tidak tahu, bagaimana aku sampai di sini. Aku bahkan lupa siapa aku sebenarnya“, setengah ketakutan dan hampir menangis dia menjawabnya. Diam-diam aku menahan tawa kegembiraan. Akhirnya aku menemukanmu. Menemukan separuh hidupku.
Namun sekarang keadaan telah berubah. Sekali lagi wajahnya memohonku untuk mengakhiri penderitaannya. Dia ingin cepat mati. Dia ingin pergi dari kehidupanku yang menyedihkan ini. Mungkin dia percaya kehidupan yang di alami nantinya akan jauh lebih baik dari sekarang. Lebih baik daripada harus menemani pria menyedihkan macam aku.
“aku tak akan menuruti keinginan bodohmu, kamu tercipta untuk selamanya menemaniku”, ujarku sambil menyelimutinya dan merebahkan diriku di sampingnya. Dia tidak menjawab pernyataanku. Hanya menggerakkan badan memunggungiku. Sesekali aku mendengar komat-kamit dari bibir indahnya. Tidak jelas terdengar. Hanya gerutuan dan sedikit kata-kata makian lirih. Semakin lama semakin lirih sampai aku tidak mendengarnya lagi, sampai aku jatuh dalam pelukan mimpi. Gerutuan dan makiannya terdengar mendayu-dayu di telingaku seperti lagu pengantar tidur.
Keesokan harinya aku terhenyak. Dia masih di tempat tidur, terbaring di sebelahku. Tangan kanannya memegang pisau lipat. Ia terus melakukan hal yang sama. Berulang-ulang. Hal yang membuat nyeri nadiku. Dia terus mengiris nadi kirinya. Dengan air mata berlinang. Dengan refleks aku rebut pisau lipat kecilnya dan ku buang asal ke lantai. Terdengar suara nyaring.
“apa yang kau lakukan? Kau sudah gila“
“aku sedang mencari jalan keluar “
“itu bukan jalan keluar, itu bunuh diri“ujarku sambil mencopot kaosku dan membebatkan ke lengannya agar darahnya tidak terus keluar. Dengan kepanikan dan rasa cemas yang menyelimutiku pagi hari ini. Dia malah tertawa seakan tidak berdosa membuatku ketakutan setengah mati.
“aku tidak bisa mati, kau tahu itu. Tidak tanpa bantuan darimu, kamu yang memberikanku nama, mengerti masa laluku, kamu memberikanku kehidupan“ kali ini ekspresinya berubah menjadi serius. Aku menangkap maksud ucapannya. Aku tahu hal itu tidak akan mungkin untuk ku turuti. Tidak mungkin terjadi. Tidak selama aku masih tetap bernafas.
“laki-laki macam apa aku ini yang dengan tega membunuh separuh jiwanya sendiri, aku tidak akan menurutimu kali ini“ dia memayunkan bibirnya.
“kau tahu aku lelah sekali, aku rasa ini saat yang tepat untukku pergi“, dia kembali memunggungi diriku. Aku hanya duduk mematung kearahnya. Dalam keheningan aku meneteskan air mata. Kenapa dia berkata seperti itu. Kenapa dia tidak mau berjuang lagi untukku. Kenapa dia begitu ingin pergi dariku. Kenapa tidak ada cinta untukku. Kenapa dan kenapa berseliweran di otakku.
“dasar laki-laki egois“, jeritnya marah. Ia kembali menatapku. Entah mendapat kekuatan dari mana ia pagi ini. Begitu bertenaga. Kemarin dia membuka matanya lebar saja susah. Entah aku harus bersyukur untuk itu atau malah merutukinya. Mungkin karena semalaman aku tidak pernah berhenti memikirkannya dan mendoakannya. Mungkin.
“egois? Justru kamu yang egois”, balasku terpancing emosinya.
“kau tidak pernah mau tahu kehidupanku nantinya jika kau tinggal pergi”
“itu..itu namanya egois, kau lebih mementingkan dirimu sendiri. Kau terlalu mengkhawatirkan nasibmu sendiri nantinya. Tapi pernahkan kau berpikir bagaimana perasaanku. Bagaimana penderitaanku. Selama ini aku sudah cukup lama menemanimu. Tapi sekarang saatku pergi. Sudah saat yang tepat. Aku ingin semuanya berakhir bahagia“. Dia berkata dengan lantangnya. Sebelum sempat aku memikirkan jawabannya dia kembali membuka suara “kau tidak bisa memiliki aku selamanya Carlos, itu realita. Suatu saat aku yakin orang juga akan bosan. Aku juga bosan dengan penderitaanku. Aku sakit Carlos. Aku capek terus menemanimu dalam kondisi sekarat seperti ini. Biarkan aku pergi. Biar menjadi kenangan terindah selama hidupmu.
“sudah lah Carlos, relakan aku pergi. Aku sudah senang seperti ini. Terima kasih sudah memberiku begitu banyak kesempurnaan“, dia sekali lagi memohonku melepaskan dirinya.
Aku memalingkan pandanganku darinya. Saat ini langit sedang memancarkan nuansa kecemburuan. Awan gelap bergerombol menutupi matahari. Mungkin ini saat yang tepat. Saat yang tepat untuk pergi. matanya tertutup, bibirnya tersenyum. Saat yang indah untuk mengakhiri penderitaannya. untuk wanita yang sangat kucintai, akan aku turuti keinginannya. Sambil menatap layar monitor berukuran 14 inch, aku gerakkan kursor ke bawah, jari-jariku siap untuk menuruti permintaannya yang sangat menyakitiku. Aku harus siap untuk ini. Jari-jariku mengetikkan TAMAT. Diiringi linangan airmata, aku telah membunuhnya.
Untuk Angel maafkan sudah menggantung hidupmu