SINDIKAT PENULIS
Silakan login dahulu, biar lebih asyik.
Kalau belum bisa login, silakan daftar dahulu.
Setelah itu, selamat bersenang-senang...
SINDIKAT PENULIS
Silakan login dahulu, biar lebih asyik.
Kalau belum bisa login, silakan daftar dahulu.
Setelah itu, selamat bersenang-senang...
SINDIKAT PENULIS
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.


Kami adalah penulis, dan kami tidak butuh persetujuan dari siapa pun!
 
IndeksLatest imagesPencarianPendaftaranLogin
"Jika ada buku yang benar-benar ingin kamu baca, tapi buku tersebut belum ditulis, maka kamu yang harus menuliskannya." ~ Toni Morrison

 

 Cerpen: Sibuk

Go down 
PengirimMessage
tsugaeda
Pendatang Baru
Pendatang Baru
tsugaeda


Jumlah posting : 1
Points : 3
Reputation : 0
Join date : 06.04.13
Age : 36

Cerpen: Sibuk Empty
PostSubyek: Cerpen: Sibuk   Cerpen: Sibuk EmptySat 6 Apr 2013 - 0:24

Salam. Sy tsugaeda gemar membaca dan menulis fiksi. Senang sekali ada forum sindikatpenulis karena banyak mendapatkan tips dan bisa bertemu dengan teman-teman yang sama-sama suka dengan penulisan. Pada posting pertama ini sy ingin share salah satu cerpen yang pernah saya buat. Semoga bisa ditanggapi, atau setidaknya menghibur teman-teman. Trims.
***

SIBUK

TV LED 32 inch menyala di ruang tengah, tidak tersambung ke antena, tapi sedang memutar DVD player yang diletakkan di sampingnya. Ini sebuah kartun musikal dari Disney berjudul The Grasshopper and the Ants. Ceritanya tentang semut-semut yang bekerja keras di musim gugur mengumpulkan makanan, lalu tiba-tiba muncul seekor belalang. Belalang ini kerjanya duduk-duduk saja. Kalau lapar ia memetik daun dan memakannya. Lalu ketika ia melihat semut-semut itu bekerja begitu keras, ia tertawa terpingkal-pingkal. Kenapa kerja mati-matian he? Makanan-makanan ini tercecer di mana-mana, tinggal ambil dan telan kan?

Sesudah itu, si belalang melakukan hal yang paling dikuasai dan disenanginya, yaitu menyanyi. Baitnya begini:

Quote :
Oh, The World Owes Us a Livin'.
Oh, The World Owes Us a Livin'.
You should soil your Sunday pants, like those other foolish ants.
Come on, let's play and sing and dance!


Litha menyangga dagunya dengan tangan, duduk di depan meja dapur. Ia mengawasi Raisa, 3 tahun, yang bersila sekian meter di depan TV, asyik menyaksikan si belalang memainkan biolanya dan bersenandung. Kartun ini sudah belasan kali ditonton bocah itu, tapi tampangnya selalu terpana seolah itu baru pertama.

Si belalang didamprat oleh ratu semut ketika suara mesin cuci berhenti. Litha berdiri dan berjalan ke mesin cuci yang ada di pekarangan belakang. Ia masih bisa mendengar percakapan antara belalang dan ratu semut ketika tumpukan baju yang telah selesai dicuci dipindahkannya ke ember. Sang ratu mencak-mencak, tapi dasar si belalang memang sudah keblinger.

“Kau akan menyesal kalau musim dingin datang, belalang goblok!”

“Musim dingin masih lama, Kanjeng Ratu. Mari dansa saja sama aku. Mari-mari!”

Litha mengangkat ember, membawanya masuk ke dalam rumah. Baru berapa langkah menginjak tekel rumah, pegangannya terlepas, embernya terjatuh. Litha membungkuk dan memegangi punggungnya. Ia tampak kesakitan. Butuh beberapa menit baginya untuk berdiri tegak lagi. Ia tidak mengangkat ember itu lagi, tapi berjalan mengambil ponselnya. Ia menelepon.

“Halo? Sedang sibuk, Yah? Apa aku mengganggu?”

Ratu semut sudah meninggalkan belalang, masih jengkel dengan tingkah si serangga jangkung pemalas itu. Tak lama kemudian angin bertiup bersamaan dengan datangnya perubahan musim yang cepat. Semut-semut itu berlarian masuk ke dalam sarangnya. Dalam sekejap musim gugur digantikan oleh musim dingin.

“Kalau boleh, aku ingin kita menggunakan jasa laundry. Tidak usah mencucikan, tapi menyetrika.... Tidak, tidak, mencucinya biar aku saja, tidak apa-apa. Cuma tinggal memasukkannya ke mesin cuci, tidak masalah.... Benar, aku yakin... Begitu ya... Hari ini, tidak apa-apa biar aku setrika... Kita bisa mulai besok... Baju-baju Anggi memang kecil-kecil, tapi banyak sekali.. Anak umur 5 bulan memang sering berganti-ganti, paling tidak sampai dia bisa buang air sendiri.. Mencucinya bisa sekaligus, tapi menyetrika kan harus satu-satu. Jadi, setuju ya?... Oke, mulai besok.”

Salju tebal menutupi permukaan tanah. Tidak tampak seekor semut pun di luar karena mereka sedang bersembunyi di sarangnya. Sementara dari kejauhan muncullah si belalang, menggigil kedinginan.

“Raisa sedang menonton... Yah, belalang dan semut, seperti biasa... Anggi sedang tidur.. Tadi sempat rewel sebentar, terus nenen dan dia mengantuk... Setelah dia tidur baru aku bisa mencuci... Kamu pulang jam berapa?.. Seperti biasa?... Tidak ada lembur?... Tidak, tidak, aku tidak titip apa-apa... Sebentar lagi? Lho, memang jam berapa sekarang ini?”

Litha menoleh ke jam dinding. Pukul 17.00 WIB.

“Ya, ampun sudah jam segini... Kenapa?... Oh, sedari tadi pagi, yah, Raisa mengajak berenang, lalu pulangnya dia main sendiri dengan anak-anak kompleks. Ketika dia pergi, Anggi tidak bisa tidur, ia merangkak ke sana kemari. Aku mau tidak mau harus mengawasinya, karena sekarang dia merangkak cepat sekali. Aku menoleh sebentar, ia sudah sampai di tepi jendela. Aku menoleh lagi, dia sudah di ujung ruangan yang lain, mengunyah buku telepon. Kenapa?... Iya, iya aku sudah menyingkiran benda-benda tajam. Aku bahkan menaruh bantal di sudut-sudut yang keras, supaya dia tidak apa-apa kalau berguling-guling.... Tidak, sih, belum.. Dia belum bisa berguling sendiri. Maksudku, seperti tadi siang, aku sedang merebus air, begitu aku kembali Anggi sedang digulung-gulung oleh kakaknya. Raisa bilang padaku, ia gemas, adek ini empuk dan lembut seperti adonan kue bolu. Yah, aku agak stres tadi, tapi semua beres.”

Si belalang tubuhnya berubah warna jadi biru, lalu ambruk ke tumpukan salju.

“Ya, sampai ketemu di rumah. Bye.”

Semut-semut menggiring belalang yang sudah lemas itu masuk ke sarang mereka. Lalu mereka memberi selimut dan menyuguhkan sup hangat yang secara ajaib membuat si belalang bugar kembali.

Litha mengangkat ember yang terjatuh tadi, membawanya ke meja setrika. Ia sudah mencolokkan kabel setrika itu sebelumnya, jadi sekarang sudah panas. Ia mengambil baju pertama untuk digosok.

Si belalang ketakutan melihat sang ratu semut menghampirinya. Ia minta maaf atas kelancangannya sebelumnya dan memohon belas kasihan supaya tidak ditendang keluar. Sang ratu berkata, “Di sini cuma tempatnya yang mau kerja!” Lalu seperti sengaja berhenti sejenak di situ supaya ia bisa menikmati tampang belalang yang semakin kalut, ia melanjutkan, “Jadi sekarang ambil alat musikmu ini dan mulai bekerja! Mainkan! Bernyanyilah di sini!”

Happy ending.

Si belalang tetap di sana menghibur semut-semut. Ia mengganti liriknya sedikit:

Quote :
I owe the world a living!
I owe the world a living!
I've been a fool the whole year long and now I'm singing a different song!
You were right and I was wrong!


“Bundaaa,”

Mendengar suara putri sulungnya itu, Litha menengok,

“Ya, Nak?”

“Kok belalangnya sendirian?”

“Ya, itu cuma cerita. Lagipula kalau kamu keluar kan biasanya belalang sendirian. Semut yang banyak-banyak.”

“Bunda, kita kok nggak ngumpulin makanan? Nanti kalau musim dingin gimana?”

“Di sini nggak ada musim dingin.”

“Tapi katanya aku harus jadi kayak semut?”

“Iya, kamu jadi anak yang rajin. Rajin belajar, dan nanti kalau udah gede, rajin kerja. Tapi juga..”

“Tapi aku juga nggak boleh jahat-jahat sama orang lain yang nggak rajin.”

“Iya, pinter. Karena mungkin mereka belum mengerti, sama seperti belalang itu.”

Raisa tidak tanya lagi. Ibunya jadi lega, karena biasanya rentetan pertanyaan ini bakal lebih panjang.

Litha suka senyum-senyum sendiri soal film kartun ini. Tidak direncanakan, anak perempuannya menyukai kartun yang sama dengan kartun favoritnya sendiri dulu. Ia menonton animasi produksi tahun 1934 ini ketika umur 6 tahun, ditayangkan TV3 (punya Malaysia) yang ditangkap dari parabola di rumahnya.

Ketika beranjak remaja, Litha tahu cerita belalang dan semut ini berasal dari kisah yang kuno dari Yunani. Aesop, seorang pendongeng, punya banyak kisah-kisah dengan tokoh-tokoh hewan yang mensiratkan pengajaran moral bagi masyarakat. Lalu versi yang disusun dan ditulis dengan baik dibuat oleh pengarang Perancis, Jean de La Fontaine. Aslinya, akhir cerita ini lebih kejam. Ketika belalang memohon supaya dibolehkan menginap dan makan, si semut menjawab, “Kau joget saja di luar sana, supaya hangat dan kenyang.”

Semakin dewasa, Litha dapat pengetahuan lagi bahwa ada satu pengarang Inggris bernama William Sommerset Maugham yang mereproduksi dongeng ini dengan caranya sendiri. Tokoh-tokohnya jadi manusia, George si pekerja keras, dan Tom si pesenang-senang. Lucunya, yang bahagia di akhir hari adalah Tom, karena ia menikah dengan nenek-nenek konglomerat yang kemudian mati dan meninggalkan warisan bergunung-gunung. Sementara George menceritakan keberuntungan Tom di sebuah rumah makan sambil terisak-isak.

Litha tersenyum, sesuatu sedang menggelitiknya. Ia sendiri sekarang berada pada ambivalensi. Jaman berubah, dan akan terus berubah. Moralitas bisa berubah, kecuali hal-hal yang sangat prinsipil seperti jangan menyakiti orang lain seenakmu sendiri. Di dunia saat ini sebetulnya kau bisa saja jadi belalang dan hidupmu akan baik-baik saja. Ketika kau tampan atau cantik, kakimu panjang, suaramu merdu, kau tidak akan kelaparan. Ketika musim dingin tiba, si ”belalang” malah punya bertumpuk-tumpuk mantel bulu yang paling mahal. Bukan karena dunia tidak adil, hanya saja era telah berganti, dari industri ke informasi. Saat ini kreativitas lebih dihargai.

Tapi Raisa, usia 3 tahun, lebih membutuhkan pondasi yang kokoh untuk berpijak. Dia baiknya belajar jadi semut dulu karena 90% orang di dunia ini nantinya akan jadi semut. Dan kalaupun dia nantinya akan jadi belalang yang berbakat, setidaknya ia akan menghargai para semut. Itu yang dipikirkan ibunya.

Lagipula tidak ada yang bilang menjadi semut itu buruk.

Tidak ada yang tahu jaman macam apa yang akan datang. Jangan-jangan kembali seperti dulu lagi.

Film kartun itu pun selesai.

“Bundaaa.”

“Ya, Nak?”

“Aku boleh nonton lagi nggak? Yang lain?”

“Kamu mau nonton apa lagi?”

“Video pernikahannya bunda sama ayah.”

“Ya ampun, kamu nggak bosen?”

Raisa menggeleng.

Ibunya berjalan ke DVD player, mengeluarkan keping kartun tadi, menyimpan di tempatnya. Lalu ia mengambil keping lain dari rak penyimpanan, dan menyetelnya.

Setelah video itu mulai, Litha kembali menyibukkan diri dengan setrikaannya.

“Bundaaa.”

“Ya?”

“Bunda dulu cantik.”

“Lho, memangnya sekarang enggak?”

“...”

Litha tak bisa menahan ketawanya.

“Ya soalnya cantiknya udah diambil kamu sama adek.”

Raisa untuk pertama kalinya, sejak menonton TV tadi, menoleh ke ibunya.

Ia tampak sedang berpikir.

“Kalau gitu,” katanya, “aku tidak mau nambah adek baru lagi!”

“Hihihi.”

“Bundaa.”

“Ya, Nak?”

“Aku asalnya dari mana, sih?”

“Apa?”

Litha kaget dengar pertanyaan itu. Otaknya bekerja keras menyimpulkan apa konteksnya. Matanya bergerak ke Raisa, lalu ke video yang ditontonnya. Video itu sedang menampilkan adegan di mana dirinya dan suami berjalan ke pelaminan. Lalu entah sejak kapan, Litha baru menyadari, ada buku bergambar miliknya, tentang kehamilan, tergeletak dengan halaman terbuka di lantai, dekat Raisa.

Pada akhirnya ia menghadapi pertanyaan ini, bagaimana menjawabnya?

“Eee, gini, panjang itu jawabannya. Intinya, sih.. Aduh, gimana ya? Bingung juga bunda. Oke, oke, gini...”

Litha tidak akan pernah mau berbohong pada anaknya sendiri. Walaupun itu kebohongan kecil.

“Jadi ayah dan bunda menikah. Lalu karena kami saling menyayangi satu sama lain, akhirnya Tuhan mengasih hadiah, yaitu kamu. Kamu dimasukkan ke perut bunda. Kamu dulu kecil banget asalnya. Terus waktu udah agak besar kamu keluar karena udah nggak muat lagi di dalam perut bunda.”

Raisa menatapnya melongo.

“Tapi, Bunda,” katanya, “Kok kata Tante Wita aku asalnya dari Bandung?”

Sekarang dua-duanya yang melongo.

“Oalah! Iya, iya, itu bener. Kamu ini lahirnya di Bandung, berarti asalmu memang dari Bandung. Tadi Bunda kurang denger kata-katamu, jadi salah jawabnya.”

“Bundaa.”

“Apa?”

“Aku nanti nikah sama siapa?”

“Kamu kan masih kecil.”

“Kalau aku sudah besar, nikah sama siapa?”

“Harusnya kamu yang pilih sendiri. Kalau ayah sama bunda sih, asal pilihanmu orang baik, boleh.”

“Bundaa.”

“He’eh?”

“Aku mau nikah sama Salman, ya?”

“Salman anaknya Om Ridwan yang rumahnya deket mesjid?”

“Iya.”

“Biasanya kalau mau nikah, yang minta ijin duluan itu laki-lakinya. Itu istilahnya melamar.”

“Kalau gitu besok pagi aku minta Salman melamar ke bunda ya?”

“Umurnya masih dua tahun, Nak. Dia ngomong aja belum bisa.”

“Bundaa.”

“Iyaah.”

“Bundaaa..”

“...”

Ada suara motor mendekati rumah, lalu berhenti.

“Eh, ayah pulang tuh.”

Raisa langsung meloncat dan menghampiri pintu sambil berteriak-teriak memanggil ayahnya.

Sang suami muncul langsung disergap oleh anak perempuannya itu. Raisa digendongnya. Bahkan ia tidak sempat melepas jaket, karena sudah dicecar dengan celotehan si anak tentang apa saja yang sudah dilakukannya hari ini.

Ketika sudah sampai sepuluh menit, Litha akhirnya turun tangan.

“Kakak, itu videonya masih dilihat, nggak? Kalau enggak, dimatikan saja. Turun dulu deh, ayah kan harus ganti baju.”

“Masih!”

Si anak turun dari gendongan dan kembali duduk di depan TV.

Ayahnya duduk bersama Litha di kursi dapur.

“Ada berita bagus,” katanya. “Sepertinya kami jadi kepilih untuk mengerjakan proyek di bank yang kemarin kuceritakan itu. Menggarap interface baru dari semua mesin ATM milik mereka.”

“Alhamdulillah!”

“Mudah-mudahan lancar. Kalau berhasil, ini bagus banget. Setidaknya mereka punya empat ribuan ATM, dan aku selain dapat bayaran dari skema software-nya saja, juga dapat ongkos pemasangan yang dihitung setiap unit mesin ATM.”

“Mudah-mudahan lancar.”

“Bisnis IT di perbankan memang basah. Aku sudah menduganya sejak dulu, dan ini terbukti. Mereka selalu tergantung pada IT, dan selalu berkelanjutan. Aku senang, keputusanku sudah membuahkan hasil.”

“Aku ikut senang.”

“Aku tidak akan mendapatkan kesempatan ini kalau masih bekerja di kantor yang lama. Karena mereka tidak akan meloloskan ideku, prosedur di sana begitu rumit.”

“Iya, ya, sepertinya begitu.”

“Terima kasih kamu telah mendukungku waktu kubilang aku mau pindah ke tempatku sekarang.”

“Aku selalu menganggapmu benar.”

“Walaupun gajinya lebih kecil. Bahkan sekarang kita tidak bisa mencari pembantu.”

“Bukan cuma kita, kok. Semua orang sudah susah punya pembantu saat ini. Mencari yang baik sulit. Kalaupun ada, bayarannya tidak murah, dan mereka lebih memilih bekerja di luar negeri.”

“Apa menurutmu tidak sebaiknya kita mulai titipkan Raisa ke...”

“Tidak, aku bisa sendiri.”

“Oke, baiklah. Oh, iya, aku membawakanmu sesuatu.”

“Apa?”

Suaminya mengambil sesuatu dari saku jaket. Sebuah benda berbentuk prisma segitiga warna hitam. Toblerone Dark Chocolate ukuran 100 gram.

“Astaga!”

“Favoritmu.”

“Terakhir makan sebelum punya anak,” kata Litha

“Ini, makanlah sekarang,” kata suaminya mencuil satu potong, “mumpung dia sedang fokus ke TV. Makan sekarang, aku akan menutupimu supaya dia tidak lihat.”

“Hehehe.”

Litha memasukkan satu potong itu ke dalam mulutnya.

“Kamu makan coklat kayak makan nasi.”

“Soalnya kalau tidak digigit dan dikunyah seperti ini, rasanya kurang nikmat,” kata Litha.

“Kenapa nangis?”

“Nggak tahu. Ini harusnya dark chocolate, tapi rasanya lebih manis, seperti dicelup air tebu.”

“Heh?”

Suaminya memeriksa bungkus coklat itu.

“Apa ini yang palsu ya? Buatan China kali ya?”

“Hehehehe.”

***

“Ayah, aku tidur duluan, ya?”

“Iya, kan seperti biasa.”

“Kalau Anggi bangun nanti dan butuh...”

“Iya, iya, seperti biasa.”

Litha berjalan ke kamar tidur dan merebahkan dirinya. Tidak ada perenungan, bayangan, atau pikiran apapun. Dia langsung terlelap.

Sepanjang malam memang ia bisa samar-samar mendengar Raisa berteriak-teriak karena digoda ayahnya, atau Anggi yang terbangun. Mungkin sepanjang malam itu ada empat kali Anggi terbangun, dan selalu suaminya yang menenangkannya, menungguinya kalau si mungil itu masih ingin merayap-rayap. Kalaupun dia hendak nenen, Litha sudah bisa mengatur posisinya dengan baik tanpa harus sepenuhnya terjaga.

Lagu itu sempat hadir di mimpinya,

Quote :
Oh, The World Owes Us a Livin'.
Oh, The World Owes Us a Livin'.
.

Jam setengah lima pagi, alarm di ponselnya berbunyi. Bunyi yang nadanya entah kenapa tidak pernah membangunkan yang lain kecuali Litha sendiri.

Ia mengucek-ucek matanya, mengolet, menguap. Setelah itu turun dari ranjang.

Harinya dimulai lagi.

***
Kembali Ke Atas Go down
http://tsugaedablog.wordpress.com
 
Cerpen: Sibuk
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1
 Similar topics
-
» (Cerpen) Bom
» (cerpen) TOM
» Cerpen "24 Jam"
» Cerpen: Karma
» Kunjungan (cerpen)

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
SINDIKAT PENULIS :: Arena Diskusi :: Cerpen-
Navigasi: