Pertukaran Jiwa
Hari ini juga jiwa-jiwa manusia terasa nikmat di lidah kekuasaanku. Aku bisa merasakannya meraung-raung mencari kekekalan ragawi. Sesuatu yang diriku sendiri menolak untuk menerimanya. Keinginan itu memang sesekali dapat menghancurkan segalanya. Keinginan yang membentuk energi-energi. Jiwa manusia yang memiliki seluruh energi seluas jagad raya ini tak mungkin terelakkan lagi. Aku mengincarnya, aku pun memiliki keinginan itu. Keinginan akan keinginan. Kebutuhan akan kebutuhan.
Jiwa manusia adalah makanan kesukaanku. Untunglah, hal itu amat mudah untuk kuraih. Kurasuki hasrat mereka yang begitu luas dengan kata-kata manis, harapan-harapan yang menggiurkan dan mereka telah tergenggam erat dalam kepalan tanganku. Hingga kini, tidak sedikit manusia yang telah memberikan jiwanya dengan sukarela demi mengharapkan kebahagiaan abadi dari kekekalan raga mereka yang kasar. Lalu, mereka mulai melangkahkan kaki di surga dunia dengan tubuh bagai kepompong kosong. Hal terindah yang telah mereka bangun dan kembangkan berlalu begitu saja. Manusia-manusia yang membantuku mengisi kehidupanku kini kosong, hampa tanpa makna.
Malam ini juga aku kelaparan. Mataku dengan awas mengelilingi sebuah taman di sudut kota. Taman yang diselimuti kegelapan hari ini adalah tempat kesukaanku. Dengannya aku bercengkerama menghindari tatapan mata ragawi. Taman itu tidak ramai, karena itu aku memilihnya. Di sini selalu saja kudapati mangsa baru dengan jiwa yang mampu memuaskan hasratku. Akhirnya aku menemukannya, raungan energi itu telah sampai ke telingaku. Denyutannya pun terasa di nadiku. Aku mendekat, menyingkap bayang-bayang dari jasadku.
Tanpa kata-kata kupersembahkan senyumanku kepadanya. Entah pria atau wanita, aku tak peduli. Hasrat di dalamnya yang akan kutelusuri. Dia menatapku dengan curiga.
“Siapa kamu?”
“Menurutmu?” Aku tetap tersenyum misterius. Tidak ada yang tak akan tertipu oleh permainanku ini. Mereka terlalu tergoda pada teka-teki.
“Kalo aku bisa nebak, aku dapat apa?” Aku meliriknya. Manusia tetap manusia, tidak akan lepas dari genggamanku. Ketamakan mereka akan kesenangan tidak akan mampu menolakku.
“Kamu lagi mau apa?”
“Emangnya kamu wishmaster?”
“Yang kutawarkan adalah raga yang kekal, sehat dan tak tersentuh oleh kematian.” Dia tergelak. Jelas, yang mampu dari awal mempercayai kata-kataku hanyalah orang gila. Tapi aku tak ikut tertawa, bibirku tetap menyunggingkan senyum dingin. Dia melirikku sekilas. Akhirnya dia menghentikan tawanya dan mulai memandangku dengan jelas seakan ingin menelanjangiku, menelanjangi kebenaran dalam diriku. Dia tersenyum.
“Menarik,” jawabnya singkat. Dia mulai bersenandung ke arah bulan. Bulu matanya perlahan bergerak turun. Kelopak matanya menyentuh kantung matanya.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku sedikit memiringkan kepalaku ke samping, mengamatinya yang belum juga membuka matanya. Bulu mata yang lentik menghiasi kelopak mata yang terpejam itu. Dia tersenyum lembut, mengerjapkan matanya sekali. Sinar mata itu lalu diarahkannya padaku.
“Aku menutup mata dari kegelapan. Kegelapan untuk kegelapan,” lanjutnya sambil memandangku tajam. Aku mengangkat daguku. Dia seakan menantang keangkuhan dalam diriku. Aku jelas tidak akan kalah oleh makhluk fana semacam dia.
“Kegelapan macam apa?” Dia mengabaikan pertanyaan ini. Dia memandang lurus ke depan dengan raut wajah seakan sedang menikmati sesuatu. Jelas bukan kehadiranku, dia justru menikmati kesendirian yang ditawarkan oleh jiwanya. Ia tidak memasukkanku ke dalam ruangan batinnya. Baginya, sekalipun aku bersuara dan menawarkan kehangatan dari sekujur ragaku, baginya aku tidak “ada.” Itu sedikit menyakiti hatiku, anggaplah begitu karena tidak ada hati dalam rangkaku yang kosong.
“Kegelapan untuk kegelapan, aku menutup mataku untuk melepaskan diri dari kegelapan,” jelasnya kemudian. Aku memandangnya dengan perasaan rakus yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Aku menginginkannya, semakin lama aku berada di sampingnya semakin besar keinginanku terhadapnya.
“Di dalam sana terang,” tantangku, menunjuk sebuah toko yang benderang oleh cahaya lampu neon. Ia memandangku dengan senyum remeh, menyakiti hatiku yang berupa rongga kosong.
“Hanya penerangan dari mata,” bisiknya lirih. Jantungku semakin berdebar cepat, ini dia! Ini dia, jiwa yang kuinginkan, yang kutuju, nikmat tiada tara.
“Mata memberikan apa yang kamu mau, kan?” balasku dengan perasaan sengit, namun aku sekeras mungkin berupaya menekan kesengitan suaraku. Aku tidak ingin mangsaku ini kabur dariku, aku begitu mengharapkannya.
“Mata memang menyenangkan, tapi tidak membahagiakan.” Dia bersenandung lagi. Menutup matanya lagi, enggan mengajakku ke dalam dunianya. Aku merasa frustasi untuk melihat kedalaman jiwanya, jiwa yang sedang kuincar. Ia masih saja membangun benteng yang tinggi dan kokoh, tidak padaku, tidak pada dunia, tetapi pada kekosongan yang hendak menyelinap ke dalamnya.
“Kau tidak percaya padaku. Mau kubuktikan?” Aku semakin tak sabar. Lambat laun aku merasa jiwa itu semakin menjauh, aku dapat merasakannya. Aku tak mau kalah, aku harus mendapatkannya!
Kali ini dia tidak tertawa. Tidak pula menunjukkan senyuman jenakanya. Ia hanya memandangku. Aku mengangkat alisku ke arahnya, balas memandangnya. Sekejap waktu seakan menghentikan kami berdua dan kami larut dalam putaran waktu yang semu.
“Sekalipun iya, kamu nggak akan bisa memenuhi apa yang ku mau,” sahutnya dingin. Aku menatapnya tajam. Keangkuhannya menyakitiku. Biarpun begitu, hanya pada awalnya saja manusia bersikap begitu. Lihat saja, kau, jiwamu itu akan kubebaskan dari ragawi yang begitu menyedihkan. Berikan saja, kau tak akan rugi. Setidaknya, dalam sudut pandangmu yang begitu picik itu. Aku mendengus tertawa.
“Bisa, dengan pertukaran yang adil,” jawabku tegas namun acuh tak acuh. Manusia ini sedang mengujiku. Karena ia tak mempercayaiku ia ingin mengujiku agar ia tidak tertipu. Manusia selalu serakah, enggan berselimut kerugian, namun ingin menggenggam utuh keuntungan bagi dirinya sendiri.
“Kamu cuma menawarkan raga,” dengusnya membuang muka. Sama saja. Setiap manusia yang kutemui berlagak seperti ini awalnya. Setelah kemauannya dituruti, ia lalu tersenyum manja untuk meminta lebih. Bisa, sekali lagi kutekankan, dengan pertukaran yang adil. Aku menatapnya tanpa berkata apa-apa. Kata-kata tidak akan berguna, kata-kata hanya akan menjadi desauan angin yang sekejap berhembus kemudian menghilang. Dalam batinnya, aku mulai bangkit.
“Kamu cuma menawarkan raga, kan?” desaknya sambil menghunjamkan tatapan kedua bola matanya yang hitam ke dalam batinku. Aku tersenyum. Aku akan bangkit dalam dirinya, aku tak lagi sekadar bayangan di pelupuk matanya.
“Apa yang kamu mau?” Aku menanyainya lagi.
“Selamanya kamu nggak akan bisa mengabulkan apa yang ku mau,” sahutnya. Ia tiba-tiba saja menjadi serius dan berendah hati. Kemuraman membayangi seluruh permukaan kulitnya yang berwarna terang. Aku diam saja. Dengan begitu ia akan terus mencurahkan isi hatinya dan ia akan menjadi mangsaku yang kesekian kali. Makna dari kehidupan yang kekal bagi manusia adalah kebahagiaan semu yang kekal. Aku tahu manusia mencari itu. Aku tahu manusia tidak akan berpaling dari harapan itu. Ia tidak jua menjawab dan ketidaksabaranku semakin menjadi-jadi.
“Kau tidak perlu meninggalkan orang-orang yang kau cintai dengan raga yang kekal,” bisikku perlahan, dengan hati-hati. Dia merenung, memandang lurus ke depan dengan pandangan kosong. Aku kembali membisikkannya janji-janji indah. “Bumi ini begitu indah, dengan hangat mentari, sejuknya angin yang bertiup lembut, bunga-bunga beraneka warna dan harum semerbak…”
“Apa aku akan mendapatkan itu?” desahnya merindu. Ah, aku hampir mendapatkannya. Benar, kau akan mendapatkannya, maka berikanlah jiwamu. Berikan persetujuanmu, berikan anggukan itu, dan perjanjian akan terukir dalam buku hitam kehidupanmu.
“Ya, ya, kau pasti akan mendapatkannya, dengan raga yang kekal sepanjang hidupmu yang tak akan pernah berakhir. Tidak merasakan sakit, tidak merasakan kepedihan, hanya kesenangan, kebahagiaan, mintalah semua yang kau mau.”
“Yang ku mau bukan raga yang kekal. Aku mau jiwaku yang kekal,” sahutnya kini lebih berupa bisikan lirih. Ia menyuarakan batinnya yang terdalam kepadaku. “Aku nggak perlu raga yang kekal. Kalau saja aku bisa hidup dalam ingatan orang-orang. Kalau saja seribu tahun dari sekarang orang-orang masih dapat mengingatku sebagaimana aku yang mereka kenal. Andai mereka mau mengenangku walau sejenak.”
Aku membelalakkan mata. Kebisuan menyergap setiap jengkal tubuhku. Ia berpaling lagi padaku dan tersenyum. Senyum yang mengerti, senyum yang memahami. Bahkan untuk membalas senyuman itu aku tak mampu. Hampir-hampir saja aku tertunduk kalau saja harga diriku tidak melarangnya keras. Dan aku pun mengerti. Aku telah kalah. Dalam permainanku yang entah kesekian kalinya ini aku dikalahkan oleh manusia yang kutuju.
Ia menunduk, tampak lebih sedih daripadaku yang merasa kalah. Untuk terakhir kalinya, ia melontarkan kembali senyum itu, senyum yang jenaka yang mencoba menutupi tatapan sedihnya. Ia pun berlalu meninggalkanku dalam kesendirianku. Dan aku tahu kini bahwa jiwanya, jiwa yang jelita itu yang kuinginkan melebihi apapun yang telah kudapatkan selama ini.
Bukankah aku penguasanya? Aku penguasa dari segala keinginan manusia yang kotor dan dangkal? Aku telah mendapatkan semuanya kecuali jiwa manusia itu. Keinginan akan keinginan itu kusadari merupakan hal yang teramat sulit untuk diraih. Wahai manusia jelita, bagaimana bisa kuturuti hal itu sementara hal itu yang kuinginkan darimu? Aku sang pemakan jiwa ini, bagaimana mungkin sanggup melepaskan sepotong jiwa agar kekal dalam pelukanmu?
Dalam pikiranku, wajah gadis itu kembali terkenang, seakan tak ingin lepas. Pandangan angkuhnya, senyum lembutnya. Kecantikan jiwanya meneteskan air liurku dan aku terus merasa kelaparan. Aku kelaparan akan jiwa itu. Dia salah, gadis itu salah menilaiku. Dia telah memperoleh keinginan terdalamnya. Dia kini menjadi sepotong kenangan yang paling terang di sudut hatiku. Aku akan mengenangnya seumur hidup sebagaimana aku mengenal jiwanya. Aku mendesah puas dalam kekalahanku. Dia mendapatkan keinginannya tanpa memberi sesuatu pun kepadaku, aku kini tetap kelaparan.
Aku menutupi kembali bayanganku yang memudar. Kembali aku bercengkerama dengan kegelapan malam di sudut kota ini. Mataku dengan awas mencari-cari mangsa yang akan kugenggam jiwanya. Jiwa-jiwa manusia adalah sesuatu yang mampu memuaskan hasratku, sedangkan manusia menghindarinya hanya untuk mengincar kebahagiaan semu. Aku yang hidup dengan memangsa jiwa manusia ini akan terus hidup dengan kekal. Akan tetapi, bagi manusia yang baru saja kutemui itu, mungkin aku bukanlah makhluk yang kekal. Aku mungkin hanyalah sekadar setitik kegelapan dalam bayang-bayang kelam, tak akan terlihat, tak akan terkenang. Jika manusia mati, aku pun turut dalam kebinasaannya.
[b]