Lagi Galau

Malam ini jari jemari menari lemah di atas keyboard. Seakan tenggelam dengan suasana hati yang sedang tidak menentu. Kangen sekaligus benci. Kangen dengan segala rutinitas yang pernah kami lalui bersama. Kangen dengan kejadian-kejadian konyol yang kami ciptakan, bahkan kangen dengan tingkahnya yang kekanak-kanakan. Tapi aku benci karena entah mengapa aku tidak bisa memusnahkan dia dari hati dan pikiran hanya karena dia pria pertama yang pernah kucintai meskipun hampir enam tahun aku berusaha!

Jujur aku kangen dengan pertemuan pertama itu. Masih duduk di bangku SMA, aku begitu terpesona dengannya yang sudah memakai jas putih berlengan pendek. Aku menjadi murid didikannya saat olimpiade dulu. Senyumnya. Tawanya. Candanya. Hanya itu yang bisa kuingat karena dia membawa semua kesenangan dan keceriaan bersamanya. Tidak ada sedih ataupun gundah, bahkan ketika aku gagal menjadi juara pertama dan hanya membawa medali perak. Dia selalu ada untuk memberiku semangat.

Masih duduk di bangku SMA, aku semakin tergila-gila dengannya. Kami lebih sering bertemu. Toko buku. Cafe. Kantin sekolah. Ruang guru. Mereka menjadi saksi bisu keakraban kami. Saat itu aku baru mengerti, inikah yang dinamakan cinta? Saling memberi dan menerima apa adanya. Saling menopang saat salah satu diantara kami terjatuh. Saling memberikan sandaran saat dibutuhkan, terutama saat dia melewati hari-hari terberat setelah perceraian kedua orang tuanya yang disusul dengan meninggalnya sang ayah.

Aku berubah menjadi begitu dewasa. Ah, mungkin memang benar kalau berpacaran itu tidak selamanya buruk. Sampai pada suatu hari, dia datang ke sekolah dan menemuiku di kantin sekolah. Lagi-lagi percakapan panjang lebar terjadi. Aku begitu nyaman berada di dekatnya, dan kurasa dia juga merasakan hal yang sama. Canda dan tawa terlontar sampai2 ibu kantin menyingkir dari singgasana dapurnya untuk memberi kami sedikit privacy.

Dan disitulah semuanya terjadi.

Dia mengusap kepalaku lembut dan menggenggam tanganku. Perlahan-lahan dia menelusuri garis tanganku. "Kau tahu?" tanyanya saat itu, "kau ditakdirkan untuk menjadi milikku."
"Bagaimana bisa?" tanyaku. Dia tersenyum dan tiba-tiba memasangkan sebuah cincin berbentuk huruf A di jari tengah tangan kananku. "A untuk Aden. A untuk Angga," katanya.

Huh, picisan! Rayuan gombal! Murahan! Makiku dalam hati. Namun entah mengapa seluruh tubuhku menghangat. Dia tersenyum menatapku. Hari itu, 18 Februari 2006, menjadi hari keramat bagi kami.

Dua tahun berlalu, badai itu mulai datang. Dia berhasil meraih gelar dokternya. IPKnya nyaris sempurna. Dia lulusan terbaik di kelasnya. Sebagai pacar aku sungguh bangga padanya. Tapi, siapakah itu? Wanita dengan kebaya berwarna merah yang tiba-tiba menggamit lengannya saat dia berfoto bersama dengan kedua orang tuanya?

Dia menganggap aku apa??!!! Aku ini siapa???

Seluruh kata yang pernah ditulis oleh manusia telah digunakannya untuk menjelaskan padaku siapa sebenarnya wanita itu. Saat itu aku pasrah dengan hubungan kami. namun berkat kegigihannya, kami bisa bertahan. Rupanya wanita itu benar-benar mengincarnya. Beberapa bulan setelah insiden itu, aku menemukan dia dan wanita itu sedang berjalan berdua di mall. Aku tidak bisa lagi memaafkannya.

Kami tidak pernah saling menghubungi sampai suatu ketika, hari ini, 17 Februari 2012, cinta pertamaku tiba-tiba muncul di hadapanku. Aku sedang cek kesehatan di rumah sakit luar kota. Saat itu tanpa sadar aku bertemu dengannya di kantin rumah sakit. Di hadapannya terhidang semangkuk soto, makanan kegemaran kami. Saat itu aku mati-matian menahan diri untuk tidak menyapanya.

Dia yang begitu indah dan sempurna dengan balutan jas putih lengan panjangnya duduk tidak jauh dari bangkuku. Ternyata dia menyadari kehadiranku. Tanpa pikir panjang dia mengangkat mangkuk sotonya dan duduk di hadapanku.
"Ternyata benar kau," katanya. Aku hanya tersenyum. Sekilas kulirik platename yang ada di jas putihnya. Dr. Adirangga Setyawan, residen bedah.

"Calon dokter bedah rupanya," jawabku sambil terus menunduk. Aku tidak sanggup menatap mata elangnya. "Ya. Itu keinginanmu juga kan?" tanyanya. Aku mengangguk. Memang aku yang memintanya untuk mengambil spesialisasi bedah. Pertemuan itu berakhir dengan tukar menukar nomor HP. "Sampai sekarang aku belum menemukan penggantimu," katanya sebelum aku berpamitan. Aku terhenyak.

Lalu, bagaimana aku bisa melepaskanmu?

Ah, apakah hanya hatiku saja yang berulah? Namun, jika memang benar, apakah dia masih memendam rasa itu? Rasa cinta yang begitu tulus untuk saling menyayangi dan melindungi seperti dulu?

Namun jika kalian mengajukan pertanyaan itu padaku, jawabannya adalah: YA. Aku masih menyayanginya. Tidak pernah berkurang sedikitpun sejak pertama bertemu. Namun akankah aku terus terbelenggu karenanya? Sulit jatuh cinta dengan pria lainnya hanya karena masa laluku dengannya? Karena cincin yang masih melingkar di jariku hingga kini? Haruskah?

Ah, dirimu... dihatiku... sudah terlalu lama, Mas... Biarlah ku mencoba... untuk tinggalkan semua...

galau sekali saya malam ini. heheheheheeee...

pengalaman pribadinya bagus sist aden untuk di buat cerpen...

mba, tersenuth sekali
aku ga pernah membayangkan jika suatu saat aku akan merasaka hal yg sama

ah, mungkin aku bakal seperti mba

heheh
kok ikut galau yah??

hahahaahaaaa... setelah enam tahun lamanyaaaaa... nggak nyangka dia akan muncul lagi dengan casing yang sama sekali berbeda... pertemuan itu sama sekali tidak kami rencanakan. Apakah ini benar-benar rencana Tuhan?

aku masih percaya loh mba yg namanya "jodoh ditangan Tuhan". soalnya aku pernah suka sama org yg sama sekali tidakku kenal, tetapi kami selalu bertemu selama empat tahun. pertemuan itu yg membuat ku menyukai dia. Aneh!. karena itu, aku yakin dengan kalimat gituan

enamtahun, memang waktu yg lama melupakan seseorang

huh!!
aku jadi sok gini, aku jg ga tau gimananya. aku belum rasain seperti itu
aku kira, itu hanya ada di novel2 atau sinetron

Sekali pun enam tahun...
masalahnya adalah, yang ini cinta pertama...
cinta pertama kan susah ilangnya, berakhir buruk malah bikin trauma (gaze)

cinta pertama

mungkin benar tuhan sedang menjalankan skenarionya... Tapi apakah aku tidak seperti seorang gadis yang mengemis cinta padanya jika kuutarakan isi hatiku padanya? Mungkinkah hatinya sama dengan hatiku, sealu merindukan, memimpikan, dan menyimpan rasa kasih sayang dan cinta yang begitu besar? Apakah benar dia belum bisa menemukan pengganti diriku sedangkan di sekelilingnya banyak wanita yang jauh lebih sempurna dariku?

Apakah masih pantas diriku untuknya?

Pantas-pantas saja sist, semangat...

Mending Kakak coba cek dulu deh ^^
jangan tanpa tedeng aling-aling langsung mengutarakan ._.

bener kata rui mba

check dulu, apakah bener ia masih ingin kembali dengan mba aden

pertanyaan kebalik lah sis adeeeen... "pantaskah dirinya untukku" (pertanyaan dalam diri sis aden)

lagian, pantes apa gak, kykny yg nentuin Tuhan tuh... :p

tp emang bener, kalau galau enakny sharing dmariiiii.... :maaf baru nongol: