SINDIKAT PENULIS
Silakan login dahulu, biar lebih asyik.
Kalau belum bisa login, silakan daftar dahulu.
Setelah itu, selamat bersenang-senang...
SINDIKAT PENULIS
Silakan login dahulu, biar lebih asyik.
Kalau belum bisa login, silakan daftar dahulu.
Setelah itu, selamat bersenang-senang...
SINDIKAT PENULIS
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.


Kami adalah penulis, dan kami tidak butuh persetujuan dari siapa pun!
 
IndeksLatest imagesPencarianPendaftaranLogin
"Jika ada buku yang benar-benar ingin kamu baca, tapi buku tersebut belum ditulis, maka kamu yang harus menuliskannya." ~ Toni Morrison

 

 Dibatas Pertemuan Senja

Go down 
PengirimMessage
kimchiriuza
Penulis Berbakat
Penulis Berbakat
kimchiriuza


Jumlah posting : 393
Points : 510
Reputation : 1
Join date : 21.12.11
Age : 30
Lokasi : Dimensi ke-7

Dibatas Pertemuan Senja Empty
PostSubyek: Dibatas Pertemuan Senja   Dibatas Pertemuan Senja EmptySat 18 Feb 2012 - 22:58

..!!”.
Dibatas pertemuan senja, saat langit mulai di selimuti gelap malam. Aku masih diam disini, menatap deburan ombak yang seakan tak lelah menghempaskan dirinya pada karang yang terlihat begitu kuat. Tetapi aku tahu karang tidaklah sekuat itu, tubuhnya yang terlihat gagah sebenarnya menyimpan begitu banyak luka yang menganga.

Pandangan ku jauh menembus batas cakrawala. teringat kembali oleh ku, saat di mana dulu aku berlari mengejar bayang matahari bersama dia kenangan masa laluku. Saat dimana ombak telah menjadi kawan sejati bagi ku dan bagi dirinya.

Kami hidup dalam buaian debur ombak. Saat senja mulai datang, bergegas kami menuju tepi pantai. Aku membawa segulung tikar dan dia menyeret tangan ibunya. Ya, saat senja datang adalah saat menyenangkan bagi kami. Karena pada saat itu, sambil melihat matahari yang terbenam kami akan mendengar kisah-kisah menakjubkan dari ibu.
Satu cerita yang paling kami sukai adalah tentang seorang putri duyung yang tak bisa mendapatkan cinta sejatinya dan akhirnya menjadi buih di lautan. Dia sangat menyukai kisah ini, jika ibu bercerita tentang putri duyung, ia akan menatap wajah ibu tanpa berkedip dan setelah itu ia akan memaksa ibu untuk terus mengulang cerita nya. Dan tanpa kami sadari setiap kali Ibu selesai menceritakan hal itu, setetes air mata turun dari pelupuk matanya. Namun dengan segera ia menghapusnya dan menggantinya dengan sebuah senyuman getir yang manis.

Mei begitu ia di panggil, bocah polos yang lugu yang selalu membuat senyum semua orang terkembang. Tingkahnya yang manja dan lucu kadang bisa membendung segala kesukaran yang mendera hidupnya. Tak pernah ada yang tau darimana asal Mei dan ibunya, mereka datang pada suatu malam saat angin laut berhembus begitu kencang. Ibunya yang saat itu menggendong bayi kecil yang lucu yang sekarang ku panggil Mei, dengan tangan bergetar mengetuk pintu rumah mang Arif, paman ku sekaligus kepala dusun saat itu. Ia memohon pada mang Arif untuk membiarkan dia dan anaknya menginap semalam disitu. Tanpa pikir panjang, Mang Arif pun segera mempersilahkan mereka ke rumahnya. Sejak saat itu Mang Arif yang memang belum memiliki keturunan menganggap wanita itu sebagai anaknya sendiri dan membuatkan ia sebuah pondok kecil, tak jauh di pesisir pantai.

Usia ku dua tahun lebih tua dari Mei, dan aku menganggap nya sudah seperti adik ku. Sudah banyak suka dan duka yang kami lalui. Bersama telah kami ciptakan sebuah ikatan, ikatan yang mungkin tak akan pernah terlepas walau apapun yang mencoba memutuskannya. Namun kini aku tahu, semua itu hanya harapan-harapan kosong dari bocah kecil yang belum tahu kejamnya dunia. Yang begitu polos berfikir tak akan pernah ada orang jahat dan kebahagiaan itu akan selalu ada jika selalu bersama. Kadang aku tertawa sendiri mengingat betapa naïf nya hidup ku dulu.

Aku kembali mengingat masa itu, saat Mei menggenggam tangan ku erat, dan kami berjanji akan selalu bersama menjaga laut dan putri duyung. Kau tahu apa yang Mei katakan pada ku kala itu.
“Bima, kau tahu jika aku bertemu sang putri, akan ku hibur dia agar tak sedih lagi. Supaya dia bisa menyanyikan suara laut untuk ku. Kata ibu, suara putri duyung itu begitu indah”. Aku tak menjawab apapun, kami sama-sama terdiam, jauh menatap laut yang begitu tenang.

Mungkin, itu adalah kata-kata terakhir Mei yang diucapkannya pada ku. Karena semenjak saat itu, Mei tak pernah muncul lagi dihadapanku. Sama seperti kedatangannya yang begitu tiba-tiba, kepergiannya pun tak dapat diduga. Mei dan Ibunya menghilang seperti buih ombak yang perlahan terseret menuju laut.

Mei, kemana kau pergi? Kenapa kau tak ucapkan sedikit kata perpisahan untuk ku?

Ku pandangi laut yang begitu luas. Perlu kau tahu Mei, sampai sekarang aku masih memegang janji kita, untuk terus menjaga laut serta putri duyung mu. Dan apakah kau tahu, saat ini laut kita terancam. Karena kerakusan dan ketamakan manusia, membuatnya kini tak lagi terlihat indah. Birunya ombak kini berganti keruh, akibat mesin-mesin apung yang setiap hari mengeluarkan kotoran-kotoran yang bercampur nurani manusia yang terbuang karena nafsu.

Kuharap kau disini Mei, mungkin jika ada dirimu orang-orang itu tak akan sanggup mendengar ocehan mu supaya mereka tak merusak dan menyingkir dari laut kita. Namun bagiku, ocehan marah mu lebih merdu dibanding suara bising mesin-mesin yang memekakan telinga.

Dingin mulai menyelimuti tubuhku, hembusan angin laut yang begitu kencang seolah menggoyahkan tubuhku yang memang sudah mulai merapuh. Apa yang sedang kau lakukan Mei? Tak rindukah kau pada ku? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu selalu bergelayut dipikiran ku, seperti benang kusut yang begitu sulit untuk ku urai dan kurapikan kembali. Mei, tak bisakah kau datang sekejap saja hapus rinduku.


***

Malam menyelimuti langit, tak ada bintang yang bertaburan, tak ada bulan yang memancarkan sinar. Di ujung karang duduk seorang lelaki tua yang wajahnya telah dihiasi goresan-goresan waktu menandakan kelelahan jiwanya. Mata sang lelaki sayu menatap laut yang begitu tenang, terpancar aura kesedihan dari cahaya matanya yang redup seolah menyimpan sejuta harapan dan penantian yang entah kapan akan berakhir.

Tiga orang nelayan yang hendak berangkat menyusuri jejak rejeki melihat ke arah Kakek tua tersebut, seorang diantara mereka kemudian berkata sambil berbisik-bisik.
“ Hei, kalian lihat kakek tua yang duduk di ujung karang itu?” katanya sambil melempar ekor mata kearah sang Kakek tua.
Nelayan bertubuh gempal menanggapinya, “ iya aku tahu, kakek itu memang sering duduk termenung disitu saat hari mulai senja, seperti sedang menunggu seseorang saja”
“ Bukankah itu kakek pendongeng yang selalu bercerita kepada anak-anak tentang dongeng laut, anak ku senang sekali mendengar cerita-ceritanya” ujar seorang nelayan ceking yang menenteng keranjang kecil dari jerami berisi umpan untuk menangkap ikan.
“ Iya betul. Tapi kasihan sekali, ia hidup sendirian, seluruh keluarganya menghilang saat badai laut menimpa perkampungan kita waktu beliau masih muda”
“ Dan yang aku dengar badai tersebut terjadi setelah seorang ibu dan anak yang datang tiba-tiba datang ke desa ini juga hilang secara tiba-tiba. Nenek ku bercerita, katanya badai yang terjadi itu akibat Dewa Laut yang marah karena anak dan cucunya disembunyikan oleh keluarga kakek itu”
“Wah, benarkah?? Jadi ibu dan anak misterius itu adalah anak dan cucunya Dewa Laut?? Hhmm,, menarik. Tapi Dewa Laut itu apa benar-benar ada?” Tanya si nelayan ceking.
“ Sudah-sudah, daripada memikirkan hal tak masuk akal seperti itu lebih baik kita segera mencari ikan. Kalian tahu kan akhir-akhir ini menangkap ikan begitu sulit gara-gara ulah mesin sialan perusak itu. Rasanya ingin ku hancurkan saja mesin-mesin bising tak berotak yang merusak mata pencaharian kita ini” Nelayan gempal berkata dengan nada penuh getir dan amarah.
“Betul sekali jok, manusia-manusia sekarang banyak yang kehilangan hati nuraninya karena nafsu. Mengandalkan mesin-mesin gila untuk meraup segala keuntungan. Mereka pikir yang butuh uang itu hanya mereka apa?? Dasar manusia brengsek hanya memikirkan diri sendiri” ucap nelayan pertama tak kalah marah.
“ Andai Dewa Laut benar-benar ada, ku harap ia dapat berpihak pada kita” nelayan ceking bergumam pelan penuh pengharapan.
Setelah itu suasana kembali hening, yang terdengar hanya suara ombak yang berdesir merayap pada pasir yang mengikis.

***
Langit semakin kelam. Kurasakan angin semakin berhembus dengan kencang. Sudah berapa lama aku termenung disini? Pandanganku terkesiap, tiba-tiba kulihat kabut putih menyelubungi laut yang tenang. Apakah yang terjadi? Apakah badai itu akan kembali datang menghantamku? Ku harap tidak. Aku tak ingin hilang sebelum melihat wajahmu Mei. Seperti apa kau sekarang? Sudah keriputkah seperti diriku ini yang lelah menantang waktu?

Gumpalan kabut itu seperti menghampiri ku, perlahan tiba-tiba membentuk sebuah sosok yang ku kenal. Seorang gadis dengan tiara perak menghias diatas rambutnya yang hitam kelam bagai malam. Ia mengenakan baju putih dari sutra, seperti dewi-dewi yunani dimasa lampau. Tangannya dihiasi mutiara-mutiara putih membentuk gelang yang berlingkar, ia memegang sebuah tongkat sula yang bersinar. Dan tubuhnya melayang seolah berdiri diatas air laut yang bergejolak. Gadis itu, tak pernah ku lupa wajahnya. Matanya yang berbinar cerah, serta senyum manisnya yang berhias lesung pipi selalu terpatri dalam di otak ku. Dia Mei, gadis yang selama ini ku tunggu.

Oh Tuhan, tak dapat ku percaya. Apakah Engkau mengabulkan do’a ku, atau ini hanya penjelmaan malaikat pencabut nyawa yang kau utus untuk membuatku meninggalkan dunia ini dengan tenang. Terserah apa pun itu, sungguh saat ini perasaan ku begitu bergejolak antara senang dan sedikit takut.

“ Me.. Mei, apakah itu dirimu??” ku beranikan diri bertanya walau dengan suara yang bergetar.
Gadis itu tersenyum, “Bima, sudah lupakah kau pada diriku??”
“ Ti.. tidak, tapi betulkah kau Mei?? “ aku menatap sosok dihadapanku penuh takut sekaligus takjub.
“Tenangkan dirimu Bima, ini aku Mei, sahabat kecil mu”
Aku tertegun, Tuhan kalau ini mimpi segera bangunkan aku. Rindu ini membuat ku jadi gila. Bibir ku ingin berbicara, tapi seolah tertahan oleh rasa takjub yang membucah didada ku. Gadis itu seolah paham yang aku rasakan, dengan lembut ia menatap mata ku, dalam.
“Tak perlu takut Bima, ikutlah bersama ku akhiri penantian mu. Aku disini menjemput mu menuju kebahagiaan kita yang tertunda” Gadis itu mengulurkan tangan putihnya kepada ku. Dan entah mengapa seolah ada kekuatan aneh yang menggerakan aku untuk menyambut tangannya. Perasaan ku menjadi begitu hangat, nyaman.

Secercah cahaya menyilaukan mata, meyelimuti aku dan Mei. Kami seolah terbawa pada sebuah dimensi baru. Perasaan ku melayang, bahagia. Mei, bersama mu kemana pun itu akan ku ikuti. Tak akan ku lepas lagi genggaman tangan mu. Selamanya kebahagian ku ada pada mu Mei.

***

Matahari menampakan dirinya, malu-malu dari balik garis cakrawala. Embun yang masih menetes dari pohon nyiur muda mengisyaratkan kegembiraan alam. Tak akan ada yang menyangka bahwa semalam, badai besar telah memusnahkan mesin tua bising yang merusak estetika lautnya. Mengembalikan hamparan laut luas tanpa berhias kotoran-kotoran nurani yang terbuang. Bersamaan dengan itu, sesosok tubuh dengan senyum mengembang di raut wajah lelahnya yang damai terlihat terbaring kaku di ujung karang. Kemudian, suara teriakan seorang nelayan memecah kesunyian pagi itu “Kakek pendongeng telah meninggal
Kembali Ke Atas Go down
 
Dibatas Pertemuan Senja
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1
 Similar topics
-
» Pertemuan I. Sekolah menulis dadakan Sindikat Penulis
» kidung senja
» Di Tepi Langit Senja
» Catatan kecil sebelum senja berakhir

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
SINDIKAT PENULIS :: Arena Diskusi :: Cerpen-
Navigasi: