SESAL ( DUNIAKU part 2 )

Berada di dalam sebuah ruangan konferensi yang luas dan dipenuhi oleh ratusan pemilik perusahaan besar seperti ini mungkin bukan hal baru buatku yang merupakan seorang wartawan. Akan tetapi saat ini aku telah menanggalkan jubah profesiku dan menatap erat penuh kerinduan serta penyesalan pada seorang wanita yang sedang berbicara di depan podium. Hal yang terasa sangat berat bagiku, tanpa sadar air mataku mengalir terjatuh melihat dirinya, wanita cantik yang terlihat bersinar dengan keanggunannya dan berbicara dengan mata yang terlihat begitu hidup, cerdas dan memukau semua orang dalam ruangan ini. Aku merindukannya.

“Cantika,” bisik bibirku lirih.

5 tahun yang lalu, dengan kasar aku telah memutuskan hubungan kami bahkan setelah dirinya memohon beberapa kali dengan air mata dan ratapannya agar aku tidak melakukannya. Saat itu entah kegilaan apa yang sudah merasukiku hingga menghinanya dengan kata-kata kasar.

“Kamu adalah parasit hidup, bersamamu masa depanku akan hancur, kamu sama sekali tidak bernilai dan sangat memuakkan. Lihat saja dirimu sekarang ini, bercerminlah!!! Apa kebaikan yang ada dari dirimu selain sampah! Kerjaanmu setiap hari cuma menungguku dan menangis tanpa dapat berbuat apa-apa! Dasar tidak berguna, menyesal aku pernah bersamamu!”

Kini kata-kata itu terus bergema dalam kepalaku menyesakkan dadaku. Gema tepuk tangan meriah terdengar keras dan hampir semua orang berdiri memberi sambutan meriah saat dia itu menyelesaikan pembicaraannya.

Aku sadar sepenuhnya, dia bukan lagi Cantika yang pernah kukenal, dia sudah menjelam menjadi seorang wanita muda pimpinan lembaga perlindungan lingkungan hidup yang kini telah didukung oleh Negara serta ratusan perusahaan raksasa. Dalam empat tahun terakhir sepak terjangnya sangat luar biasa dalam membesarkan lembaga yang dulunya sangat kecil itu dan berjuang keras mengumpulkan perusahaan-perusahaan besar hingga menjadi kini berubah menjadi lembaga yang sangat berpengaruh.

Ulat yang kukenal kini telah tumbuh menjadi Kupu-kupu yang cantik.

Tak lama kemudian acara pun selesai, beberapa tamu sudah keluar dari ruangan namun sebagian kecil tamu masih terlihat mengerumuni Cantika, jantungku berdetak keras saat tubuhku berdiri dan kakiku melangkah menuju ke depan podium menuruni tangga rendah panjang mengarah padanya dengan perasaan yang dipenuhi kerinduan.

“Cantika,” panggilku saat melihatnya yang baru saja selesai menandatangani salah satu bukunya mengenai Lingkungan hidup yang telah menggerakkan banyak orang dan membiarkan tamu itu berlalu.

“Yoga!!!” Tatap Cantika terkejut melihatku dengan mata membelakak, untuk sesaat dia terlihat terkejut dan berikutnya terdiam membiarkan suasana tidak nyaman terasa kental di antara kami berdua. Tanganku terkepal dan mendekati dirinya, tidak perduli lagi, kali ini aku harus memiliki dirinya.

“Cantika,” kataku mendekatinya, “Aku merindukanmu.” Demi Tuhan aku benar-benar merindukannya setelah 5 tahun, setelah keberhasilannya ini.

Tubuh Cantika terkejut dan melangkah mundur selangkah dan seorang pria tampaknya melihat kami berdua dan juga wajah pucat Cantika sehingga segera mendekati kami, “Ada masalah?”

Mataku menatap tajam pada pria itu ingin memakinya agar tidak mencampuri urusan kami.

“Tidak ada masalah,” sahut Cantika dan kemudian menggenggam tangan pria itu meminta kekuatan, “Brian, kenalkan Yoga, wartawan dari majalah…” Dia menyebut nama surat kabar tempatku bekerja dan mataku sedang memandang marah pada eratnya genggamannya pada Pria itu. “Yoga, kenalkan ini Brian dia adalah…”

“Aku tahu siapa dia,” sahutku setengah kesal, Pria itu adalah CEO muda dari perusahaan yang bergerak international dan fotonya sering terpampang di surat kabar kami. Aku tidak peduli padanya, yang ingin kuketahui adalah apa hubungan mereka.

“Tunanganku,” sahut Cantika menatap Brian sambil memberitahuku, “Dua minggu lagi kami akan menikah.”

Jantungku terasa berdetak keras dan kakiku serasa kehilangan pijakan.

“Yoga, datanglah ke rumahku besok, Ayah dan Ibu ingin bertemu denganmu dan aku ingin memberimu undangan.”

***

Pagi ini aku memberanikan diri mengunjugi rumahnya, sudah 5 tahun lamanya aku tidak pernah lagi menginjak tempat ini, mataku menatap pada sebuah kursi kayu panjang berwarna putih yang ada di depan beranda rumah mereka. Kursi yang sama di mana lima tahun yang lalu aku dan Cantika duduk bercengkrama bersama sambil membaca buku dan menghitung bintang. Tawa dan suara nyanyiannya saat aku memetik gitar di tempat ini masih terdengar jelas dalam otakku, semua terasa baru saja terjadi meski waktu bertahun-tahun sudah berlalu.

“Nak Yoga?” Panggil sebuah suara menyadarkanku dari lamunan dan segera melihat ibunya Cantika yang sedang berada di depan pintu menatapku, “Aku melihatmu datang, masuklah.”

Kakiku melangkah memasuki rumah kecil itu yang dulunya selalu kudatangi dan melihat tidak banyak perubahan setelah 5 tahun. Aku masih mengingat sofa putih di ruang tamu ini, di mana Cantika sering membantuku menuliskan beberapa artikel untuk surat kabarku dan tempat dimana aku mencuri ciuman pertama darinya. Pada dinding ruangan masih terlihat foto-foto Cantika terpajang di mana-mana bersama piala-piala semasa mudanya dan kini aku menemukan foto-foto di mana Cantika tumbuh semakin kuat dan mandiri, di masa-masa saat aku meninggalkannya. Dia tumbuh semakin cantik.

“Apa yang sudah kalian lakukan padaku,” bisikku lirih pada Ibunya.

“Yoga,”panggil sebuah suara dari dapur dan aku melihatnya keluar dari ruangan dapur itu, persis sama seperti 5 tahun lalu di mana dia selalu tersenyum melihat kedatanganku dan langsung memelukku dengan mesra untuk menyambutku, tapi kali ini dia sudah tumbuh lebih cantik dan dia… keluar bersama Brian dengan Brian memeluk dirinya mesra. “Yoga mari ikut makan siang bersama.”

Amarah, cemburu dan rasa sesak segera menghimpit di dadaku namun aku mencoba untuk tetap tenang, “Tidak, aku hanya singgah sebentar mengambil undangan. Masih ada pekerjaan yang harus kulakukan.”

“Oh,” kata Cantika yang kini terlihat begitu dewasa dan memikat, “Aku akan mengambil undangan untukmu,” kemudian meninggalkanku dan ibunya sedangkan Brian kembali ke dapur.

“Yoga,” kata Ibu Cantika menatapku setelah menyadari kemarahanku, “Janganlah merusak kehidupan Cantika lagi, dia sudah menemukan pasangan hidupnya.”

Kemarahan segera membajiri tubuhku, ingin rasanya berteriak tapi semua itu masih berhasil kutahan dan saat Cantika memberiku sebuah undangan serta mengantarku ke depan pintu keluar, aku segera menggenggam tangannya erat-erat dan berkata, “Cantika, jangan menikah dengannya. Aku masih mencintaimu.”

Wajah Cantika yang tadinya tersenyum padaku kini, terlihat tertegun dan kemudian berubah menjadi marah dengan air mata di sudut matanya, “Yoga, kamu yang memutuskan hubungan kita dan membuatku menderita, air mata dan ratapanku saat itu sama sekali tidak bernilai bagimu saat kamu meninggalkanku di sini sendiri.”

Aku terdiam karena memang itulah yang terjadi.

“Kini setelah aku memiliki semuanya, kamu datang padaku untuk menghancurkan hidupku yang sudah kubangun dari atas derita dan kesakitan, siapa kamu pikir dirimu Yoga?” Kata Cantika menepis tanganku, “Kamu memang pernah menjadi segala-galanya bagiku tapi kini, kamu tidak memiliki arti apapun juga bagiku. Selamat Tinggal!”

Pintu depan tertutup dan menghempas di depan hidungku menyisahkan rasa sakit di hati dan air mata di sudut mataku.

***

Beberapa minggu kemudian, usai Pesta Perkawinannya yang begitu meriah aku terduduk di kursi belakang sendirian menatap Cantika dan Brian yang sedang tertawa begitu bahagia. Ayah dan Ibu Cantika terlihat mendekatiku dan duduk di sampingku, Ayahnya segera menyodorkan sebuah kotak kecil padaku.

“Nak Yoga, kami tidak pernah memiliki waktu yang tepat untuk menyerahkan benda ini padanya,” katanya terdengar menyesal, “Kamu tahu setelah kepergianmu dia berjuang menemukan kembali hidupnya dan membenci setiap hal tentangmu hingga kami tidak berani mengatakan apapun juga. Tanpa sadar waktu terus berlalu dan dia sudah jatuh cinta pada orang lain.”

Aku memegang kotak itu erat-erat dalam hening.

“Yoga, dia kini sudah menikah pada orang lain dan bahagia,” kata Ibunya , “Kami tahu hal ini berat bagimu dan kami berterima kasih kamu tidak mengacaukan semua ini.”

“Apa yang sudah kalian lakukan padaku,” bisiku pada kedua orang tua ini dan air mataku mengalir turun.

Keduanya saling bertatapan dan menundukan kepala.

5 tahun yang lalu mereka berdua mendatangi tempatku bekerja dan memohonku untuk memutuskan Cantika meski aku begitu mencintainya, saat itu mereka datang dengan sebuah album foto saat Cantika masih muda.

“Nak Yoga,” kata Ayahnya saat itu, “Kami tahu kamu mencintai Cantika tapi kami mohon putuskanlah dia untuk sementara waktu, kamu terus menerus pergi keluar kota dan keluar negeri karena pekerjaanmu serta membiarkannya sendirian. Tiap malam dia terus menangis menunggumu, kami tidak sanggup melihatnya begitu menderita. Nak Yoga, dia masih terlalu muda untuk mengenal dan memahami cinta, dia dapat hancur karena cinta.” Ayahnya menyodorkan sebuah album dan membukanya di hadapanku, “Lihatlah dirinya sebelum dia bertemu denganmu.”

Aku tahu Cantika sangat mencintaiku dan selalu menungguku, tapi aku juga memiliki pekerjaan dan tidak mungkin meninggalkan pekerjaanku untuk selalu menemaninya, aku ingin membangun masa depan yang indah dengannya. Di dalam album itu terlihat Cantika yang seolah-olah tidak pernah kekurangan energi dan smeua prestasi yang dimilikinya.

“Dulu dia begitu berprestasi dan hidup tapi sejak mengenalmu, dia hanya dapat menunggumu, Nak Yoga… Dia menangis dan terus menangis, luka karena dirimu dan sakit karenamu,” kata Ibunya, “Jika kamu benar mencintai Cantika, perduli padanya dan menginginkan yang terbaik untuknya, putuskanlah dirinya biarkanlah dia bernafas dan menemukan hidupnya terlebih dahulu hingga dia siap untuk jatuh cinta kembali lagi.”

Ibunya menangis terisak dan aku hanya dapat menatap album itu, “Jika kamu tetap bersamanya, kamu akan menghancurkan hidupnya, dia masih tidak tahu cara mencintai yang baik tanpa menghancurkan dirinya sendiri. Yoga apakah kamu ingin melihatnnya hancur karena dirimu?”

Seminggu setelah pertemuan itu, dengan mengeraskan hatiku, aku mendatangi rumahnya, memutuskan Cantika demi masa depannya dan membiarkan hatiku teriris menatap air mata dan tangisannya. Malam harinya kedua orang tuanya datang kembali untuk berterima kasih padaku dan saat itu aku menyerahkan kotak kecil ini pada mereka dengan pesan, “Aku mencintai Cantika dan akan selalu mencintainya, pada saat dia sudah siap untuk jatuh cinta lagi maukah kalian menyerahkan benda ini padanya dan katakan aku akan selalu menunggunya.”

Aku menitipkan benda itu bersama segenap perasaanku mencintainya, menyayanginya dan air mataku. 5 tahun lamanya aku menunggu Cantika tapi orang tuanya selalu mengatakan belum siap dan kini kotak kecil ini sudah kembali padaku. Tanganku perlahan-lahan membuka kotak itu dan menemukan cincin pernikahan yang sudah kubeli 5 tahun yang lalu. Air mataku mengalir keluar dengan perasaan cintaku padanya yang selalu menyala selama 5 tahun. Aku masih mencintainya sama seperti yang dulu dan selalu menginginkan yang terbaik buatnya.

Tanganku gemetar menyentuh kotak itu dan menundukan kepala menangis, semuanya terasa begitu berat dan kini aku hanya dapat berkata lirih dengan penuh kesedihan, “Cantika, aku masih mencintaimu dengan sepenuh hatiku.”