SINDIKAT PENULIS
Silakan login dahulu, biar lebih asyik.
Kalau belum bisa login, silakan daftar dahulu.
Setelah itu, selamat bersenang-senang...
SINDIKAT PENULIS
Silakan login dahulu, biar lebih asyik.
Kalau belum bisa login, silakan daftar dahulu.
Setelah itu, selamat bersenang-senang...
SINDIKAT PENULIS
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.


Kami adalah penulis, dan kami tidak butuh persetujuan dari siapa pun!
 
IndeksLatest imagesPencarianPendaftaranLogin
"Jika ada buku yang benar-benar ingin kamu baca, tapi buku tersebut belum ditulis, maka kamu yang harus menuliskannya." ~ Toni Morrison

 

 (The Sweetest Memory of the Rain)

Go down 
4 posters
PengirimMessage
Dwiya A Rizkani
Penulis Pemula
Penulis Pemula
Dwiya A Rizkani


Jumlah posting : 102
Points : 153
Reputation : 1
Join date : 08.07.12
Age : 34
Lokasi : Makassar

(The Sweetest Memory of the Rain) Empty
PostSubyek: (The Sweetest Memory of the Rain)   (The Sweetest Memory of the Rain) EmptyTue 11 Sep 2012 - 11:31

“Lain kali kamu harus hati-hati, supaya tidak terperangkap di sarang laba-laba lagi.”

Suara lembut itu terdengar saat jemarinya yang lembut membebaskanku dari jeratan benang-benang yang kuat. Aku mendongakkan wajahku, menatap sepasang mata indah yang menatapku penuh kasih. Dibersihkannya kedua sayapku dengan hati-hati sambil menaungiku agar tidak tersiram air hujan.
Saat itu aku berjanji, aku akan membalas budi cowok baik ini…

***

“Hari ini kita kedatangan teman baru, namanya Aurora Camelia. Dia murid pindahan yang akan bergabung dengan kalian. Mohon bantuannya agar Aurora bisa betah bersama kita.” Guru perempuan berambut pendek itu memperkenalkanku pada teman-teman baruku. Tapi pandanganku masih mencari-cari, seseorang yang karenanya aku berani mengambil resiko besar ini.

Dan disitulah dia, dengan rambut kemerahannya duduk dengan bertopang dagu di sudut kelas. Matanya tampak kosong. Aku tak melihat kelembutan yang dulu kulihat di matanya.

Setelah dipersilahkan duduk, aku berjalan dengan cepat ke samping cowok itu. Bangku di sampingnya kebetulan kosong. Kesempatan yang tidak kusia-siakan.
Aku menatapnya sambil memperlebar senyumanku. Awalnya ia menatapku dengan pandangan aneh, sedikit heran. Lalu dengan begitu saja membuangiku muka. Tapi aku tidak marah atau kecewa. Disini, dalam wujud manusia ini, akhirnya aku bisa bertemu dengannya. Bahkan duduk di sampingnya.

***

“Arian!!!!”Aku berteriak kencang sampai-sampai semua orang di kantin memelototiku dengan heran.

Aku tidak peduli dan duduk di samping Arian. Akhirnya aku tahu siapa namanya. Arian melihatku dengan tatapan dingin. Sejenak aku merasa sangat jauh darinya. Tidak seperti saat pertama kali bertemu dengannya.

“Mau apa?”Katanya dengan nada datar.

“Aku boleh nggak duduk disini?” Tanyaku tanpa menghilangkan senyumanku.

“Semaumu saja.”Jawabnya pendek. Selanjutnya ia sibuk dengan makanan yang ada di hadapannya. Aku berpura-pura mengaduk-aduk makananku. Tapi tidak menolehkan sedikitpun pandanganku darinya. Tentunya aku tak akan memakan makanan yang kubeli ini.

Setelah menghabiskan makanannya, tanpa berkata apapun, Arian beranjak dari tempat duduknya untuk kembali ke kelas. Aku segera mengekorinya dari belakang.

“Mau kamu apa sih??”Arian berbalik dan berseru kesal padaku.

Aku menatapnya sambil tersenyum lebar.

“Loh, aku Cuma mau jalan di belakang kamu aja. Nggak boleh??”Godaku.
Dia berbalik dengan kesal dan mempercepat langkahnya. Aku terkekeh pelan.

***

Aku menoleh ke arah kelas. Berharap Arian akan segera keluar. Tadi Ujian mendadak diadakan dan karena tak tahu apa yang harus kuisi di lembar jawaban, aku memilih keluar. Lalu sosoknya yang tinggi tampak meninggalkan kelas. Aku berlari ke arahnya. Arian mendengar langkahku dan berbalik.

“Kamu lagi. Kenapa sih ngikutin aku terus??”Tanyanya kesal.
Aku tak menjawab kata-kata Arian. Tetapi menariknya ke taman belakang kampus. Arian yang bingung tidak melawan dan mengikutiku. Meskipun pandangannya keheranan ke arahku.

“Aku suka sama Arian.”Kataku saat kami telah berada di taman belakang
Lagi-lagi pandangan dingin Arian menusuk hatiku.

“Karena itu aku datang kemari menemuimu.”Aku melanjutkan kata-kataku sambil tetap tersenyum. Arian memandangiku lagi. Ia tampak jauh. Berbeda dengan Arian yang menolongku dulu.

“Tapi 2 tahun lagi aku mati, lho.”

“Eh??” Aku belum sadar dari keterkejutanku dengan kata-katanya saat ia beranjak meninggalkanku. Hujan mulai turun. Aku yang tadi terpaku di taman belakang sekolah itu segera mencari tempat berteduh. Hatiku sakit. Aku datang menemuinya tapi ia sama sekali tak tersenyum. Wajahnya tampak dingin. Aku memeluk lenganku sambil duduk di trotoar sekolah. Aku tak pernah menyangka ini sebelumnya. Ku kira akan mudah…

***

“Semua yang menyatakan cinta pada Arian pasti ditolak.” Cerita Amy saat aku bertanya padanya. Bel jam istirahat baru saja berbunyi saat kucoba mengorek informasi tentang Arian pada teman-teman kelasku.Menurut Amy, Arian adalah tipe cowok penyendiri. Meskipun pintar, ia tampak tidak suka bersosialisasi dengan siapapun.

“Semuanya??”Tanyaku heran.

Anita yang duduk di sebelah Amy mengangguk.

“Semuanya yang pernah bilang suka ke Arian pasti dapat ucapan seperti itu.”Katanya.

“Mungikin dia bohong untuk menolak?” Aku masih berharap mendapatkan jawaban lain untuk sikap Arian yang sangat menjauh dengan semua orang itu.

“Kalau maksudnya itu sih nggak apa-apa. Tapi keliatannya dia serius deh. Saat dia bilang kayak gitu kita kan jadi bingung mau bergaul sama dia. Seakan-akan dia bilang ‘jangan dekati aku’”Terang Anita.

Aku terdiam mendengar penjelasan mereka berdua. Meskipun begitu, aku tak akan menyerah.. Aku menatap titik-titik hujan di luar kelas. Aku tak punya banyak waktu lagi. Aku tak akan mungkin bisa menunggu.

***

Hari-hari setelahnya kuisi dengan mencoba apapun untuk membuat Arian mau mengajakku berbicara. Aku berusaha mengajaknya bicara atau sekedar berbalik dan tersenyum. Seluruhnya gagal. Tapi aku tidak pernah berhenti. Teman-teman kelasku bahkan mengataiku sangat keras kepala mau mencoba meluluhkan si pangeran es, julukan Arian di kelas karena sikapnya yang benar-benar anti sosial. Mereka tak tahu aku kehabisan waktu.

***

Aku kembali mengajak Arian untuk pergi ke taman belakang sekolah setelah jam pelajaran usai. Kali ini ia tidak menolak ataupun memandangiku dengan heran. Ia hanya berjalan mengikutiku sambil tetap memasang wajah kakunya.

“Kenapa kamu ngajak aku kesini,Aurora?”tanyanya dengan nada datar.

Aku menatapnya dengan senang. Betulkah ia baru saja memanggil namaku?

“Wah, senang sekali!! Kau ingat namaku!!”Pekikku gembira.

“Itu karena kau sangat keras kepala.”Gumamnya

“Soalnya waktuku sangat terbatas!!” Ucapku

“Waktu?” secercah emosi terlihat di kedua matanya yang indah.

“Ya! Karena…..” Lama aku terdiam. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, berharap tak ada yang mendengar percakapan kami.

“Karena aku adalah kupu-kupu.” Bisikku di dekatnya.

Arian menatapku tak percaya. Seperti aku baru saja mengatakan lelucon yang tidak lucu kepadanya.

“Sungguh keajaiban aku bisa berada disini sekarang, soalnya sekarang musim hujan, bukan musim yang cocok untuk kupu-kupu.” Aku menjelaskannya pada Arian yang masih menatapku aneh.

“Jangan ngawur.” Ocehnya dan ia beranjak pergi .

“Heiii!!!… Tunggu, jangan pergi!! Aku nggak ngawur kok.”Aku menarik tangannya dan menahannya agar tidak pergi.

“Kalau begitu kau orang aneh!! Lepaskan aku sekarang!” Ia mencoba menarik tangannya. Tapi aku memegangnya dengan kuat.

“Takkan kulepaskan!!!!”Tanpa sadar, karena tidak bisa menahan diriku, kedua sayapku yang selama ini kusembunyikan, memberontak keluar. Arian menatap kedua sayapku yang berwarna Coklat dan hitam dengan pandangan shock. Ia membeku di tempat.

“Upss!! Maaf yah, aku tak bisa menahan diri. Lihat, ini asli loh.” Kataku sambil menggerak-gerakkan sayapku.

Detik berikutnya, Arian jatuh pingsan.

***

“Arian, kau baik-baik saja??”Aku berbisik khawatir.

Arian mulai sadar dari pingsannya. Aku telah menyembunyikan sayapku agar tidak mengejutkannya lagi. Ia menataku lalu bangun dari pembaringannya. Ia duduk sambil menekuk kedua lututnya.

“Kau butuh obat? Dokter?”Aku terus menerus memberondongnya dengan pertanyaan. Aku tak menyangka ia begitu shock melihat sayapku tadi.

“Aku nggak apa-apa.”Gumamnya pelan sambil memegang kepalanya.

“Lebih baik ke ruang kesehatan saja. Kuantar yah?”Saranku.

“Aku benci ruang kesehatan.”Nada suaranya tiba-tiba berubah. Ia tampak marah.

Aku terdiam dan duduk di sampingnya. untuk beberapa menit tak ada suara di antara kami.

“Apa kamu percaya sekarang?”Tanyaku memecah keheningan.

“Setelah melihat sosokmu tadi, sepertinya aku ingat.”

“Ya, kamu pernah menolongku tempo hari.”Kataku sambil menatapnya dan tersenyum.

“Jadi kau datang untuk balas budi?”Tanyanya.

Aku mengangguk.

“Iya, aku mau membalas budi. Tersenyumlah!”

“Hah??”

“Sepertinya hidupmu membosankan. Kau tak pernah kulihat tersenyum. Hanya waktu kau menolongku saja.”

Arian mengalihkan pandangannya dariku.

“Itu bukan urusanmu.” Gumamnya pedas.

“Sekarang itu urusanku. Aku akan melakukan semuanya agar kau bisa tersenyum dan bahagia.”

“Kau ini bodoh yah?” Arian menatapku sambil mengernyitkan keningnya.

“Hah, bodoh??”

“Kenapa aku harus memenuhi keinginanmu? Mestinya kau yang memenuhi keinginanku.”Ucapnya.

“Oh iya yah.”Aku tersenyum ke arahnya. Akhirnya ia mau bercakap-cakap denganku.

“Kau harus berjuang supaya aku bisa tersenyum.” Katanya.

“Baik!!!” Aku menyetujuinya dengan cepat. Senang karena bisa lebih mengenalnya. Paling tidak untuk sementara.

“Ada yang kau sukai??”Tanyaku saat kami berjalan pulang.

“Aku suka musim hujan.” Jawabnya singkat.

Dia suka musim hujan… Aku senang sudah tahu sedikit hal darinya. Aku ingin tahu lebih banyak.

***

“Aurora, mau pulang bareng?” Aku berbalik dengan shock mendengar ajakan yang barusan kudengar. Bukan aku saja. Hampir separuh orang yang ada di kelas berbalik dan menatap Arian tak percaya.

“Serius?? Wah sekarang kau yang mengajakku pulang!!” aku tak bisa menyembunyikan euphoria yang terdengar dari suaraku.

“Mau ato tidak, nih!” Katanya lagi. Kini dengan nada kesal. Mungkin karena malu dilihat oleh teman-teman sekelas, Arian segera beranjak ke luar kelas.

Aku segera membereskan buku dan alat tulisku dan segera mengejar Arian.

“Pelan-pelan dong jalannya.” Ucapku dengan napas ngos-ngosan setelah mampu mengimbangi langkah-langkahnya yang panjang.

“Sebenarnya kamu tinggal di mana?” tanyanya setelah beberapa saat kami berjalan.

“Itu R.A.H.A.S.I.A!” jawabku setengah berbisik. Ia lalu mendengus kesal.

Awan mulai terlihat bergulung di atas langit. Kemudian titik-titik hujan turun. Awalnya perlahan, kemudian mulai menderas. Arian menarik tanganku cepat dan membawaku berteduh di pinggir halte yang sepi dari orang-orang.

Aku tersenyum senang merasakan sentuhannya lagi. Lalu aku meringis saat rasa sakit yang menusuk terasa di belakangku. Aku tersadar, efeknya mulai terasa. Aku tidak bisa membuang-buang waktu lagi. Aku melepaskan diri dari gandengan Arian dan berlari ke arah hujan. Berpura-pura menikmati tetesan air yang terasa dingin dan menyakitkan di tubuhku. Aku berusaha tersenyum riang dan berputar-putar di antara derasnya hujan.

“Hei!!! Apa yang kau lakukan!!” Arian berteriak panik lalu menarikku lagi.

Aku menolak dan malah menariknya agar ikut menikmati hujan itu. Arian tampaknya mulai menikmati hujan dan malah ikut bermain-main denganku. Kami tidak memperdulikan tatapan orang-orang yang mungkin menganggap kami gila. Mungkin karena sudah merasa cukup, Arian mengajakku duduk di pinggiran halte. Kami tertawa-tawa setelah menyadari betapa basah kuyupnya kami berdua.

“Aku suka musim hujan karena dia dingin dan kelam.” Tiba-tiba Arian berbicara padaku.

Aku menatapnya heran.

“Kurasa, akan lebih mudah jika tidak punya kenangan apa-apa. Kurasa lebih baik tidak berhubungan dengan siapapun agar tidak ada orang yang merasa kulukai kalau aku harus pergi.” Ia menatapku sambil tersenyum. Ada kepedihan yang membayang dalam senyumnya.

“Tapi bukankah lebih baik punya kenangan daripada tidak punya sama sekali?” Kataku keras kepala.

“Kau tidak mengerti. Aku sakit. Perlahan imun tubuhku berkurang dan lama kelamaan aku akan lumpuh. Kau pikir aku sanggup hidup hanya untuk mengenang kenangan-kenangan?”

“Bukankah itu gunanya kita hidup? Agar punya kenangan, masa lalu, atau apalah itu untuk dikenang lagi nanti? Kau harus punya kenangan, agar kau tidak merasa menyesal. Agar suatu saat, saat kau tidak punya daya membuat sebuah kenangan, paling tidak kau punya stok kenangan yang akan membuatmu ingat, kau pernah mensyukuri hidup.” Kataku panjang lebar. Aku merasa benar-benar kesakitan sampai tidak bisa mengontrol nada suaraku.

“Maafkan aku. Kau benar.” Gumam Arian pelan.

Aku tersenyum dan menggenggam tangannya.

“Itulah insting kami. Selalu ingin menciptakan keindahan agar orang lain punya kenangan tentang kami. Supaya kami bisa pergi dengan tenang.” Ucapku.

Arian tidak berkata apa-apa. Tapi dari tatapan matanya aku tahu, aku telah melaksanakan janjiku.

***

Aku harus pergi. Aku tidak bisa tinggal lagi. Tapi apa aku tidak akan menyakitinya kalau harus pamit sekarang?

***

“Selamat malam!” Aku menyapanya yang tengah duduk menatap langit di balkon rumahnya.

Arian tampak terkejut melihatku duduk di pinggir penghalang balkonnya.

“Ada apa? Mengapa kau kemari semalam ini?” Tanyanya heran.

Aku tersenyum kecut dan berjalan ke arahnya. Kubiarkan sayapku bergerak bebas di punggungku.

“Aku harus berpamitan.” Jawabku singkat.

Arian terdiam mendengar kata-kataku.

“Meski tahu akan begini akhirnya, ternyata rasanya sakit juga yah…” gumamku pelan.

“Jangan pergi!”Suaranya sarat dengan tuntutan.

Arian menarikku dalam dekapannya dan memelukku erat.

“Kenapa kau masih bisa tertawa??? Kenapa kau masih bisa tampak bahagia padahal kau tahu kau harus pergi??” Arian berbisik dalam pelukanku.

“Karena itulah insting kami.” Aku menarik tubuhku dari pelukannya agar bisa berhadapan dengannya.

“Jangan hidup dalam penyesalan Arian. Kau harus bahagia. Maukah kau berjanji?”
Arian menatapku dan mengangguk mantap. Aku tersenyum.

“Kalau begitu aku bisa pergi dengan tenang.” Aku mulai mengepakkan sayapku pelan dan beranjak pergi. Meninggalkan Arian. Aku menghapus sebutir air yang mengalir di pipiku. Aku menangis. Seharusnya kupu-kupu tak menangis bukan? Lalu kuyakinkan hatiku. Misiku sudah selesai. Aku akan berbahagia untuknya.

***

Arian menyentuh bunga yang baru saja mekar di taman depan kelas dan tersenyum. Beberapa teman perempuannya berbisik-bisik di belakangnya.

“Arian suka bunga yah?” Amy bertanya dengan nada ragu-ragu.

Arian berbalik dan memandangnya, lalu memamerkan senyumnya yang cemerlang. Teman-temannya menatapnya heran bercampur kagum.

“Aku bukan suka bunganya, aku suka musim yang membuat bunga ini mekar.” Ucapnya.

Arian kembali berbalik menatap bunga-bunga itu. Ia lalu menengadah ke langit dan berbisik pelan.

“Aku merindukanmu dalam terik mentari musim ini. Terima kasih.”

Arian lalu masuk ke dalam kelas. meninggalkan kenangan tentang Aurora di belakangnya. Dan di dalam pikirannya.

***

Makassar, 8 Juli 2012


Kembali Ke Atas Go down
vera astanti
Penulis Senior
Penulis Senior
vera astanti


Jumlah posting : 1658
Points : 1715
Reputation : 3
Join date : 14.05.12
Age : 32
Lokasi : Bojonegoro

(The Sweetest Memory of the Rain) Empty
PostSubyek: Re: (The Sweetest Memory of the Rain)   (The Sweetest Memory of the Rain) EmptyThu 13 Sep 2012 - 11:48

so sweet, hehehe....
iya seperti cerita di komik yah, hehehe....
mba dwi hati-hati dengan penggunaan tanda baca, tanda pentung Very Happy,

joget
ceritanya asik
Kembali Ke Atas Go down
Dwiya A Rizkani
Penulis Pemula
Penulis Pemula
Dwiya A Rizkani


Jumlah posting : 102
Points : 153
Reputation : 1
Join date : 08.07.12
Age : 34
Lokasi : Makassar

(The Sweetest Memory of the Rain) Empty
PostSubyek: Re: (The Sweetest Memory of the Rain)   (The Sweetest Memory of the Rain) EmptyFri 14 Sep 2012 - 0:10

makacihhhh Vera!!!

btw tanda pentung itu apa yak??
malu-malu
Kembali Ke Atas Go down
Blassreiter
Penulis Senior
Penulis Senior
Blassreiter


Jumlah posting : 537
Points : 591
Reputation : 8
Join date : 27.07.12
Age : 33

(The Sweetest Memory of the Rain) Empty
PostSubyek: Re: (The Sweetest Memory of the Rain)   (The Sweetest Memory of the Rain) EmptyFri 14 Sep 2012 - 9:48

Dwiya A Rizkani wrote:
makacihhhh Vera!!!

btw tanda pentung itu apa yak??
malu-malu
!
Kembali Ke Atas Go down
iin yakub
Penulis Muda
Penulis Muda
iin yakub


Jumlah posting : 178
Points : 199
Reputation : 3
Join date : 30.08.12
Age : 40
Lokasi : PALEMBANG

(The Sweetest Memory of the Rain) Empty
PostSubyek: Re: (The Sweetest Memory of the Rain)   (The Sweetest Memory of the Rain) EmptyFri 14 Sep 2012 - 16:27

cerita yang manis...

saran >>> karena ini cerpen, antara dialog dengan narasi harus imbang. kalo semua bagian cerita isinya dialog,,, ntar jadinya malah skenario (naskah darama, sinetron, atau film)...
Kembali Ke Atas Go down
http://angan-kirana.blogspot.com
Dwiya A Rizkani
Penulis Pemula
Penulis Pemula
Dwiya A Rizkani


Jumlah posting : 102
Points : 153
Reputation : 1
Join date : 08.07.12
Age : 34
Lokasi : Makassar

(The Sweetest Memory of the Rain) Empty
PostSubyek: Re: (The Sweetest Memory of the Rain)   (The Sweetest Memory of the Rain) EmptySat 15 Sep 2012 - 15:00

Makasih kak Iin sarannya....

dapat ide
Kembali Ke Atas Go down
Sponsored content





(The Sweetest Memory of the Rain) Empty
PostSubyek: Re: (The Sweetest Memory of the Rain)   (The Sweetest Memory of the Rain) Empty

Kembali Ke Atas Go down
 
(The Sweetest Memory of the Rain)
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1
 Similar topics
-
» Your lost memory
» Novel Mini-seri Rain of Dust

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
SINDIKAT PENULIS :: Arena Diskusi :: Cerpen-
Navigasi: