Dia naik dari halte Pasar Minggu, tentunya setelah beberapa saat menunggu. Perempuan itu. Tampangnya sekilas lugu, namun menyimpan manis yang tak perlu diragu.
Aku kenal dia. Namanya Sonya. Teman semasa SMA. Paling populer di antara teman-temannya. Sementara aku? Hanya bisa mengagumi dari jauh. Tanpa berani mengumpulkan niat berkenalan hingga benar-benar utuh.
Kali ini, aku harus maju….
Aku memberanikan diri untuk berpindah tempat duduk, walau sempat terantuk. Tak apa, yang penting masih ada satu tempat kosong di sampingnya agar aku bisa kembali duduk.
“Sonya dari SMA Angkasa?”
“Ya, betul. Siapa ya?”
“Aku Fian.”
"Fian? Si pembuat cerpen di mading sekolah ya?”
Aku tak tahu, reputasiku sebagai penulis rupanya cukup menolong dalam perkenalan kali ini. Kau tahu, kadang kita membutuhkan sesuatu yang cukup berguna untuk berkenalan dengan seseorang. Aku sedang memikirkan kenangan apa yang bisa dijadikan bahan pembicaraan ketika tiba-tiba reputasi sebagai penulis cerpen mading menolongku. What a luck!
“Ya, betul. Suka baca mading juga?” aku bertanya.
“Kadang-kadang,” dia menjawab sambil tersenyum. Kemudian, dia menceritakan tentang bagaimana pertemuannya dengan tulisanku, yaitu saat hendak memasang pengumuman pemilihan ketua OSIS di mading.
Sonya kemudian bercerita tentang tulisanku. Katanya, tulisanku adalah yang paling ringan, sederhana, dan jujur, tidak seperti penulis mading lain yang berniat nyastra namun gagal. Kalimat-kalimatku kental, paragrafku selalu punya kalimat utama di awal.
“Jadi, kalau aku mau baca tulisanmu tetapi nggak punya cukup waktu, cukup baca kalimat pertamanya di tiap paragraf,” katanya tergelak.
Persis. Memang itu tujuanku. Warna-warni yang bertebaran di seluruh bagian mading membuatku mau tak mau membujuk mata pembaca untuk tetap terpaku, meski hanya untuk beberapa waktu. Aku memang seringkali menempatkan ceritaku di halaman satu. Tujuannya? Tentu agar semua mata menuju ke situ.
“Jadi,” kataku sembari menarik napas, “yang mana judul favoritmu? Tentunya bila kamu masih ingat.”
“Hmmm…,” Sonya mengarahkan matanya ke luar jendela, seperti mencari sesuatu di luar sana, lalu kembali menghadapku dengan segera. “Cinta diam-diam!”
“Oh, cerpen yang hilang itu,” kataku. Ya, itu salah satu cerpen favoritku. Menjadi favorit karena menulisnya begitu mudah, banyak disukai, dan terutama…karena cerpen itu memang kubuat untuknya. Aku benci mengakui fakta bahwa aku tidak cukup berani mengatakan perasaan ini langsung padanya saat itu. Terlebih, cerpen itu terlanjur hilang sebelum aku membuat salinannya.
“Kamu tahu siapa pencurinya?” kata Sonya.
Aku menggeleng.
Perempuan itu mengeluarkan telunjuknya, mengarahkannya pada dirinya sendiri, tersenyum. “Aku.”
Sonya bercerita. Dia sedang berjalan di lorong bersama pacarnya, Endryl, ketika cerita itu masih terpampang rapi di mading. Membaca sejenak, Sonya mengungkapkan kekagumannya dan ingin Endryl membuatkannya cerita semacam itu untuknya. Endryl kemudian mencopot cerita itu dari potongan mading.
“Katanya, mau dipelajari. Saat putus, aku baru tahu kalau dia membakarnya setelah pulang sekolah….”
“Yaaah….”
“Maafin aku ya, Fian.”
Bus melambat, lalu berhenti. Kondektur mengetukkan koin pada kaca bus tanpa henti, pertanda bagi sopir untuk tetap menginjak pedal rem meski belum sepenuhnya menepi. Beberapa orang masuk ke dalam. Seorang pemuda, juga dua orang ibu-ibu setengah baya yang warna pakaiannya agak kelam. Salah satunya membawa anak umur lima tahun, menyebabkan penumpang yang hendak naik di belakangnya harus menunggu agak lama. Tapi itu bukan masalah, karena mereka sabar. Yang tidak sabar adalah para pengendara mobil di belakang bus yang mulai mengklakson silih berganti.
“Fian?”
“Eh, ya?” aku tersadar dari pengamatan.
“Marah ya?”
“Kenapa harus marah?”
“Karena aku secara tidak langsung merusak ceritamu.”
Sejujurnya, memang ada rasa kesal. Tapi, bisa apa aku bila yang memohon dihadapanku adalah wajah imut dengan pipi seperti bantal? Akhirnya, hanya senyum yang bisa aku beri agar perasaan bersalahnya jauh terpental. “Nggak apa-apa, kok!”
“Hmm…yan?”
“Ya?”
“Boleh minta bikinin itu lagi?”
“Cerita?”
“Iya.”
“Gimana cara kasihnya? Aku bahkan nggak tau kamu tinggal di mana.”
Kondektur bus kembali mengetukkan koin pada kaca, pertanda bus akan berhenti di halte Lenteng Agung. Bus mulai melambat. Beberapa orang beranjak dari kursinya, bersiap turun.
Sonya kemudian mengambil pena di saku bajunya. “Ada kertas? Cepet.”
Aku menggeleng.
Bus kini berhenti. Sonya kemudian meraih tanganku, meletakkan dalam pangkuannya, dan menuliskan alamat surelnya di telapak tanganku.
sonyahamzah@gmail.com.
“Jangan cuci tangan untuk beberapa hari, ya!” Ia mengikik sambil beranjak turun.
Kondektur berhenti mengetuk koin. Bus perlahan melaju. Aku segera membuka kaca, mengeluarkan kepala untuk berteriak pada Sonya.
“Hei!”
Sonya menoleh, mengangkat dagunya sambil menatap heran seperti memberi isyarat, “Apa?”
“Apa kabar??”
Dia tersenyum, lalu teriak. “Baaaiiiiikkk…!”
Kami saling melambaikan tangan.
***